Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Waduh! Meski Kuat, Pengaruh Religiusitas Dalam Politik Indonesia Terbatas, Kok Bisa? Ternyata…

        Waduh! Meski Kuat, Pengaruh Religiusitas Dalam Politik Indonesia Terbatas, Kok Bisa? Ternyata… Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Hasil survei yang diadakan oleh SAIFUL MUJANI RESEARCH AND CONSULTING (SMRC), menunjukkan bahwa, walaupun tidak begitu tinggi, masyarakat Indonesia secara umum religius dan menempatkan bahwa agama memiliki arti penting dalam hidup mereka.

        “Walaupun tidak begitu tinggi, masyarakat Indonesia secara umum religius dan mengaku bahwa agama itu penting dalam hidup mereka,” ujar Prof. Saiful Mujani, pendiri SMRC, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis, Senin (25/4/22).

        Kesimpulan ini didapat dari sejumlah kategori penilain atau indikator antara lain intensitas beribadah di rumah ibadah, perasaan ketaaan pada perintah agama, frekuensi untuk mempertimbangkan agama dalam setiap pengambilan keputusan, intensitas menjalankan ritual keagamaan, dan identifikasi diri dalam tiga tipologi keagamaan yang dibuat oleh Clifford Geertz: santri, abangan, dan priyayi.

        Baca Juga: GP Ansor Klarifikasi Soal Tsamara Amany “Antek Yaman”, Refly Harun Blak-blakan: Pertanyaannya…

        “Berdasarkan tipologi keagamaan, khusus untuk warga Muslim, walaupun tidak lebih dari 50 persen, publik paling banyak menempatkan diri sebagai santri, 41 persen. Yang mengaku abangan 26 persen. Yang priyayi 2 persen. Dan ada 30 persen yang tidak bisa mengidentifikasi diri,” ujarnya.

        Dengan negara yang menganut demokrasi, maka kecenderungan untuk memilih partai politik sangatlah berkaitan dengan masyarakat Indonesia, tetapi apakah religiusitas yang tinngi atau kuat tadi bebenar memengaruhi?

        Saiful menunjukkan bahwa sebetulnya yang paling kuat hubungannya dengan pilihan politik adalah identitas beragama. Walaupun pengaruhnya kuat, tapi terbatas. Sebagai gambaran, Saiful memberi contoh jika hanya ada PDIP dan PKS maka identitas agama muncul, tetapi jika dalam format lainnya maka faktor identitas tadi tidak jadi penting.

        “Kalau yang bersaing antara PKS dan PDIP, maka faktor identitas agama ini akan muncul. Tapi kalau, misalnya, yang bersaing adalah PDIP dengan Nasdem, faktor ini menjadi kurang penting,” tambah keterangan tersebut.

        “Jadi kalau pertanyaannya apakah religiusitas itu memiliki pengaruh dalam perilaku politik? Punya, tapi terbatas,” terang Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini.

        Sebagai contoh dari pentingnya religiusitas dalam pengaruh politik, Saiful memberikan contoh dari eksistensi PKS yang dengan branding keagamaan masih bisa bersaing meski memang tidak selalu mendapat suara besar dibanding partai nasionalis.

        Baca Juga: Pengawalan Jokowi Dinilai Super Ketat, Omongan Rocky Gerung Tajam: Sinyal Bahwa Dia Sudah Tidak...

        “Kalau agama betul-betul tidak penting dalam politik, tidak mungkin ada partai seperti PKS. Kenyataannya ada, tapi kekuatannya terbatas. Selama ini, partai agama seperti PKS tidak pernah mendapatkan dukungan dalam Pemilu menembus dua digit, selalu di bawah 10 persen. Demikian pula partai Islam lain seperti PPP,” lanjut keterangan tersebut.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Bayu Muhardianto

        Bagikan Artikel: