Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebaiknya tidak terburu-buru dalam menilai rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membuat peraturan terkait pelabelan BPA pada produk air minum dalam kemasan galon berbahan plastik keras (polikarbonat).
“KPPU baru mengeluarkan hipotesa, tanpa membuat suatu riset saintifik”, ujar Pakar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Mursal Maulana, Rabu, 29 Juni 2022.
“Jadi, KPPU lebih baik melakukan koordinasi internal lebih dulu sebelum mengeluarkan pernyataan, sehingga tidak membuat masyarakat bingung,” kata Mursal.
Mursal menegaskan BPOM dan KPPU adalah dua lembaga yang memiliki wewenang di wilayah berbeda. Wilayah wewenang BPOM adalah kesehatan publik yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Di sisi lain, KPPU berwenang di wilayah praktik dan perjanjian bisnis.
“KPPU itu murni melihat B2B (business to business) untuk menjamin tidak adanya praktik persaingan usaha tidak sehat, seperti monopoli dan kartel,” kata Mursal.
Kesehatan publik, menurut Mursal, merupakan isu pelindungan hak asasi manusia. Karenanya, BPOM sesuai amanat konstitusi perlu mengeluarkan kebijakan tersebut.
“Tugas BPOM memproteksi kesehatan masyarakat bersifat mandatory, atau diwajibkan karena amanat Konstitusi sebagai perwujudan pemenuhan hak asasi manusia,” katanya.
Sementara itu, di sisi lain, isu kebijakan kompetisi yang menjadi wilayah kewenangan KPPU lebih mengarah kepada B2B, dan bukan B2C (business to consumer). KPPU di sini bertugas menciptakan lingkungan persaingan usaha yang sehat, agar tidak ada saling sikut di antara pelaku bisnis.
Isu kesehatan publik dan kebijakan kompetisi memiliki dua objek yang berbeda. Jadi menurutnya, persoalan koordinasi di antara lembaga negara. KPPU tidak perlu membuat pernyataan ke media, tapi justru berkoordinasi dengan BPOM dan melakukan kajian bersama.
Mursal mengakui isu kesehatan publik acapkali bersentuhan dengan isu persaingan usaha, seperti dalam rencana BPOM menerapkan peraturan pelabelan BPA.
Namun demikian, dia tetap berpandangan bahwa KPUU baru bisa menggunakan kewenangannya jika lembaga itu menemukan praktik riil persaingan usaha tidak sehat yang terkait dengan peraturan BPOM tersebut.
“Apalagi saat ini peraturan BPOM itu masih dalam bentuk rancangan,” katanya.
Kalaupun peraturan tersebut telah diundangkan, menurut Mursal, pihak-pihak yang berkeberatan dengan substansinya bisa menggugat peraturan BPOM itu ke Mahkamah Agung, dan bukan ke KPPU. Ini karena wilayah kewenangan KPPU berada di wilayah praktik bisnis, dan bukan substansi kebijakan pemerintah.
“Yang tidak puas bisa menggugat BPOM di Mahkamah Agung dengan melakukan uji materiil," tegasnya.
Mursal menyarankan KPPU sebaiknya wait and see (melihat dan menunggu) dan tidak tergesa-gesa melakukan tindakan. Ini karena wewenang KPPU dalam konteks ini baru bisa dijalankan ketika nantinya ada efek dari pemberlakuan peraturan itu, apabila ada keluhan bahwa ada indikasi persaingan usaha tidak sehat.
Sementara itu, terkait dengan BPOM, Mursal memandang lembaga itu bisa tetap meneruskan rencananya mengatur pelabelan BPA. “Jika yakin ini murni untuk melindungi kesehatan masyarakat, apalagi sudah melakukan riset saintifik tentang dampak BPA, BPOM bisa tetap menerapkan kebijakan tersebut karena ini amanat Konstitusi.”
BPA sendiri merupakan bahan kimia yang menjadi bahan baku dalam proses produksi kemasan plastik keras atau polikarbonat, seperti galon guna ulang yang digunakan industri air minum dalam kemasan. 94% galon guna ulang yang beredar terbuat dari polikarbonat.
Mayoritas diangkut secara terbuka dan terpapar matahari langsung selama perjalanan dari pabrik ke tangan konsumen. Dalam ratusan publikasi ilmiah, BPA disebut bisa menyebabkan antara lain kanker dan gangguan hormonal terkait kesuburan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat