Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kenaikan Harga BBM dan LPG Nonsubsidi, Pengamat: Bisa Berimbas ke Inflasi

        Kenaikan Harga BBM dan LPG Nonsubsidi, Pengamat: Bisa Berimbas ke Inflasi Kredit Foto: Antara/Moch Asim
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Keputusan PT Pertamina (Persero) untuk melakukan penyesuaian beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi berpotensi menyebabkan inflasi yang lebih tinggi pada 2022.

        Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan tersebut akan memberikan imbas ke inflasi cukup berisiko dari penyesuaian harga yang diatur pemerintah (imported inflation).

        "Meski yang disesuaikan adalah BBM dan LPG nonsubsidi. Proyeksi inflasi bisa menyentuh 5 s.d. 5,5 persen year on year tahun ini," ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Selasa (12/7/2022).

        Baca Juga: Penyesuaian LPG Nonsubsidi Berpotensi Menggeser Pengguna ke LPG Subsidi

        Bhima mengatakan, semakin tinggi disparitas harga barang subsidi dan nonsubsidi semakin tinggi migrasinya.

        Sementara itu, di saat yang bersamaan untuk mencegah terjadimya migrasi pengguna BBM dan LPG nonsubsidi ke jenis subsidi akan dilakukan berbagai pembatasan oleh Pertamina.  

        Dengan begitu, masyarakat terutama kelas menengah akan menghabiskan uang lebih banyak untuk biaya kebutuhan hidup. Daya beli kelas menengah akan turun dan berdampak terhadap penjualan berbagai produk sekunder dan tersier.

        "Siap-siap penjualan rumah, kendaraan bermotor, elektronik akan turun. Sementara masyarakat atas cenderung lakukan saving atau menahan diri untuk belanja karena ini menunjukkan sinyal inflasi akan tinggi tahun ini," ujarnya.

        Bhima melanjutkan, untuk sekarang kalau untuk pembatasan pasti timbul masalah. Salah satunya masalah pendataan yang harus diperbaiki sehingga rumah tangga mana yang masuk golongan subsidi dan nonsubsidi harus dipetakan.

        "Problemnya pembatasan yang dilakukan sedikit terlambat karena penggunaan MyPertamina misalnya justru menyulitkan orang miskin yang berhak membeli," ungkapnya.

        Sementara itu, untuk pilihan lain secara paralel adalah mendorong pembangunan Jargas untuk mengurangi ketergantungan pada LPG impor yang nilainya Rp80 triliun. 

        "Windfall dari pendapatan pajak dan PNBP komoditas ekspor, sebaiknya sebagian disishkan untuk bangun jaringan pipa gas. itu solusi, tapi selama ini progresnya lambat dan kurang jadi prioritas," tutupnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: