Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Inflasi Global Perbesar Peluang Indonesia Masuk Resesi Ekonomi

        Inflasi Global Perbesar Peluang Indonesia Masuk Resesi Ekonomi Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Inflasi tinggi yang terjadi di sebagian negara maju di dunia memperbesar peluang Indonesia untuk masuk kembali ke dalam resesi ekonomi.

        Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan inflasi secara global akan memperbesar probabilitas Indonesia masuk pada resesi ekonomi.

        "Kita tidak bisa menganggap enteng situasi, Indonesia bisa terdampak dari resesi global dalam tiga jalur," ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (18/7/2022).

        Baca Juga: Potensi Resesi Kecil, Tapi Indonesia Perlu Antisipasi Dampak Resesi Negara Lain

        Jalur pertama adalah pasar keuangan di mana investor mulai mengalihkan aset dari negara berkembang ke negara maju atau ke aset yang lebih aman seperti instrumen berbasis dolar AS.

        Aliran modal yang keluar menyebabkan syok pada nilai tukar rupiah sehingga proyeksi pelemahan kurs dapat mencapai Rp15.500 sebelum akhir tahun ini. Kedua, jalur perdagangan di mana negara-negara yang alami resesi ekonomi memiliki hubungan dagang dengan Indonesia.

        "Di kawasan Asean contohnya, ada Laos dan Myanmar meski kontribusi nilai ekspor hanya 0,34% terhadap total ekspor Indonesia, namun secara regional bisa mengurangi surplus perdagangan. Kalau Myanmar dan Laos bangkrut efeknya bisa meluas ke wilayah Asean," ujarnya.

        Sedangkan yang ketiga adalah jalur investasi langsung yakni tertundanya realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dari negara-negara maju karena faktor risiko yang tinggi.

        "Ibaratnya negara asal investasi sedang terganggu karena resesi, sehingga aliran modal ditunda dulu untuk ekspansi ke Indonesia," ungkapnya.

        Meski begitu, Bhima menyebut beberapa indikator ketahanan ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari krisis 2008 dan taper tantrum 2013, misalnya cadangan devisa cukup gemuk yakni US$136,4 miliar, kemudian ada windfall harga komoditas yang bantu jaga rupiah tidak terkoreksi sedalam negara berkembang lain.

        Namun, indikator ketahanan tersebut bisa dalam waktu cepat berubah, seperti ketergantungan terhadap harga komoditas tentu cukup berisiko. Seperti yang terjadi pada harga crude palm oil (CPO) di pasar internasional anjlok 6,3 persen dalam setahun terakhir menjadi RM3.762 per ton (data per 13 Juli 2022), kemudian nikel juga mulai alami koreksi dalam sebulan terakhir.

        "Artinya, menggantungkan ketahanan eksternal dengan fluktuasi harga komoditas sama dengan naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Sekali harga komoditas anjlok, hilang pendapatan, devisa dan pertahanan ekonomi langsung melemah. Sudah terlihat bagaimana petani sawit sampai jual TBS (Tandan Buah Segar)-nya ke Malaysia karena harga di dalam negeri anjlok," ujar Bhima.

        Sementara itu, bagi pekerja, tentu imbasnya biaya hidup semakin mahal, sementara upah hanya naik rata-rata 1 persen, mau cicilan motor dan rumah juga semakin mahal karena suku bunga otomatis naik.

        "Banyak tekanan yang disebut sebagai cost of living crisis atau krisis biaya hidup. Dalam jangka panjang, pekerja rentan bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan meskipun seolah tetap aktif bekerja," ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: