Gara-gara Hal Ini, Iran Bilang Joe Biden Kampanyekan Iranofobia di Timur Tengah
Ketika Presiden Amerika Serikat Joe Biden melakukan kunjungan ke Timur Tengah, Iran melayangkan tudingan bahwa Washington menyebarkan sentimen anti Iran atau Iranofobia.
Tudingan itu bergulir usai Presiden Joe Biden mengakhiri tur ke Timur Tengah, Arab Saudi, akhir pekan lalu.
“Amerika Serikat sekali lagi berusaha menciptakan ketegangan dan krisis di kawasan dengan menerapkan kebijakan Iranofobia. Namun gagal,” tegas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, Minggu (17/7/2022).
Biden melawat ke Timur Tengah pada 13-16 Juli lalu. Ia bertemu sejumlah pemimpin di kawasan. Seperti Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman dan Raja Arab Saudi Salman, Perdana Menteri (PM) Israel Yair Lapid, hingga Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Presiden ke-46 AS itu juga menggelar pertemuan dengan pemimpin Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council) serta Yordania, Mesir dan Irak.
Dalam pernyataan resmi, mereka berkomitmen melestarikan keamanan dan stabilitas regional, serta memperdalam kerja sama di bidang pertahanan dan intelijen.
Selain itu, mereka juga menekankan upaya diplomatik AS dan sekutu di Timur Tengah untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir dan melawan peningkatan ancaman yang dilakukan Negeri Mullah itu.
Secara terpisah, PM Israel Yair Lapid mengatakan, kunjungan Biden juga memperkuat dan mengembangkan upaya bersama Israel-AS menangkal ancaman serangan Iran.
Iran diketahui telah melakukan pengayaan hingga 60 persen. Ini jauh di atas batasan 3,67 persen yang diatur dalam kesepakatan nuklir pada 2015 antara Teheran dengan negara-negara kekuatan dunia, termasuk AS. Uranium yang diperkaya hingga 90 persen berpotensi untuk bahan bom nuklir.
Dilansir Reuters, Senin (18/7/2022), penasihat senior Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Kamal Kharrazi, mengklaim bahwa Iran secara teknis mampu membuat sebuah bom nuklir. Meski demikian, mereka belum memutuskan merealisasikan klaim tersebut.
Menurut Kharrazi, bisa saja Iran mengikuti kesepakatan nuklir tersebut. Namun syaratnya, jika AS mencabut sanksi-sanksi dan kembali bergabung dalam kesepakatan itu.
Biden sebelumnya menyatakan, tidak bisa menjanjikan hal itu, dengan alasan: kesepakatan nuklir bukan perjanjian yang mengikat secara hukum.
Pada 2018, mantan Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan nuklir itu. Merespons keputusan AS, Teheran pun mulai melanggar pembatasan-pembatasan nuklir yang diatur kesepakatan tersebut.
Kharrazi menegaskan, Iran tidak akan pernah merundingkan program rudal balistik dan kebijakan regionalnya, seperti yang dituntut negara-negara Barat dan sekutu mereka di Timur Tengah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: