Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite harus benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah.
"Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022?" ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Sabtu (20/8/2022).
Bhima mengatakan jika pemerintah menaikkan harga BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar, maka masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak. Pasalnya, jika mereka sebelumnya mampu membeli Pertamax, namun sekarang mereka migrasi ke Pertalite. Maka dari itu, jika harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain.
Baca Juga: Rencana Penyesuaian Harga BBM Subsidi Dinilai Tepat
"Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin. Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu. Dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," ujarnya.
Lanjutnya, jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi. Imbasnya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam.
Sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi kan baru Rp88,7 triliun berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita. Sementara APBN sedang surplus Rp106,1 triliun atau 0,57% dari PDB di periode Juli.
Baca Juga: Pengamat: Tidak Seharusnya Pemerintah Menaikkan Harga BBM Subsidi
"Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgen dan korbankan subsidi energi," ungkapnya.
Bhima menilai solusi terbaik adalah dengan cara pemerintah perlu melakukan revisi aturan untuk hentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan, dan perkebunan besar.
"Dengan tutup kebocoran solar, bisa hemat pengeluaran subsidi karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi. Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga dan pembatasan untuk jenis pertalite," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: