Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menjelaskan para buruh yang demo di depan gerbang DPR dengan membawa foto Puan Maharani yang sedang menangis adalah bukti ingatan publik tidak akan hilang begitu saja.
"Foto itu tampaknya sengaja dibawa para pendemo untuk mengingatkan Puan agar konsisten dalam merespon persoalan yang sama. Puan ditantang pendemo untuk juga menentang kebijakan Joko Widodo menaikkan harga BBM dengan tetesan air mata sebagaimana ia menentang yang kebijakan Susilo Bambang Yodhoyono," kata Jamiludin dalam keterangan persnya.
Ia menilai tuntutan pendemo itu sangat wajar mengingat jabatan Puan saat ini sebagai Ketua DPR RI. Apalagi salah satu fungsinya mengawasi kebijakan yang diambil eksekutif.
"Untuk itu, Puan seharusnya mendengarkan sungguh-sungguh aspirasi rakyat terkait kebijakan yang diambil eksekutif. Kalau rakyat menolak kebijakan eksekutif, sudah seharusnya Puan memperjuangkannya untuk membatalkan kebijakan eksekutif tersebut," tambahnya.
Jadi, kata Jamil, Puan tidak seharusnya memahami kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sementara mayoritas rakyat menolaknya. Di sini Puan jelas sangat tidak aspiratif dan tidak melaksanakan fungsi pengawasan.
"Kalau sat ini saja Puan sudah tidak aspiratif, tentu rakyat akan sulit menilainya layak menjadi presiden. Rakyat akan khawatir Puan akan mengabaikan suara rakyat bila nantinya menjadi presiden," terangnya.
"Karena itu, bila Puan ingin sukses menjadi capres dan kelak akan terpilih, maka saat inilah moment yang tepat menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang aspiratif. Puan harus berani melakukan fungsi pengawasan dengan menolak kebijakan menaikkan harga BBM," jelasnya.
"Jadi, momen kenaikan harga BBM akan menguji kelayakan Puan sebagai pemimpin yang sesungguhnya. Kalau Puan berani menolak kenaikkan harga BBM, maka ia layak menjadi capres pada Pilpres 2024," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat