Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Potensi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi 2022 & 2023, Tantangan dan Solusi

        Potensi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi 2022 & 2023, Tantangan dan Solusi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Principal Indonesia (PT Principal Asset Management) memberikan pandangan mengenai tantangan dan solusi dalam mengatasi potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 dan 2023 mendatang. Pandangan  tersebut diberikan dalam acara Webinar Market Outlook 2022 dari Principal Indonesia yang bertajuk “Potential Economic Downturn in 2022 & 2023: Challenges & Solutions”, Kamis, 8 September 2022 yang menghadirkan tiga pembicara: Patrick Chang, CIO Malaysia & CIO Equities for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia;  Jesse Liew CIO Fixed Income for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia; dan Ni Made Muliartini, CIO PT Principal Asset Management.

        Patrick Chang dalam paparannya menyebutkan Kondisi perekonomian dunia di awal 2022 sebenarnya telah menunjukkan perbaikan walaupun dibayangi oleh inflasi tinggi di beberapa kawasan dunia. Namun setelah meningkatkan tensi geopolitik, ketidakpastian pada perekonomian kembali menjadi perhatian utama disebabkan oleh inflasi yang tidak kunjung turun akibat krisis energi dan pangan, serta potensi melambatnya pertumbuhan dunia.

        Menurutnya,  ancaman resesi dunia diperkirakan terjadi lebih cepat di 2023 dibandingkan prediksi awal di tahun 2024 akibat kenaikan suku bunga sebagai respon dari inflasi tinggi namun dibarengi dengan perlambatan pertumbuhan PDB global. 

        Penggerak utama ekonomi dunia yaitu Amerika Serikat dan China sedang berusaha menghadapi tantangan perekonomiannya masing-masing. The Fed, bank sentral Amerika, berusaha memerangi inflasi domestik yang tinggi dengan menaikkan suku bunga dengan agresif. Sementara itu, China yang saat ini masih melakukan lockdown di beberapa daerahnya serta mengalami masalah di sektor properti, juga masih berusaha membangkitkan perekonomiannya. Dengan tidak menghadapi inflasi tinggi seperti Kawasan Eropa maupun Amerika, pemerintah China diharapkan bisa mengendalikan ekonominya dengan kebijakan moneter maupun fiskalnya. China dengan rencana investasi besarnya di FAI (Fixed Asset Investment) di infrastruktur diharapkan bisa membalikkan arah perekonomian. 

        Sementara itu dikatakanya, Asia menjadi kawasan yang cukup baik sebagai alternatif investasi mengingat kawasan lain seperti Eropa dan Amerika terdampak langsung oleh krisis energi dan geopolitik saat ini. Lebih khusus lagi, kawasan ASEAN menjadi pilihan investor karena menjadi kawasan yang diuntungkan akibat harga komoditas yang tinggi serta beralihnya rantai pasokan beberapa produk dari China ke ASEAN.

        Untuk menghadapi situasi perekonomian dunia yang sangat menantang saat ini, Patrick menyarankan untuk berinvestasi dengan menyadari resiko investasi terlebih dahulu dan mendiversifikasi investasinya. Pilihan perusahaan yang layak dijadikan tempat investasi adalah perusahaan dengan arus kas solid, bisa membagikan dividen, mewakili tema pembukaan ekonomi, serta memiliki fundamental yang baik. Selain itu diharapkan investor memiliki time horizon yang panjang dalam berinvestasi. 

        Sektor yang dimaksudkan bisa meliputi financials, consumer, communication services, dan technology sectors.

        Sementara itu Jesse Liew dalam paparannya menjelaskan beberapa hal penting terutama berkaitan dengan investasi obligasi di pasar modal global maupun Indonesia.

        Ia menjelaskan, kinerja obligasi pada tahun 2019 dan 2020 sangat baik karena adanya trend penurunan suku bunga di seluruh dunia akibat kondisi pandemi. Namun mulai berbalik arah pada 2021-2022 saat ekpektasi peningkatan suku bunga mulai diperkirakan akan terjadi. Jika suku bunga bank sentral dikurangkan dengan inflasi, banyak negara telah berada pada posisi suku bunga riil negatif, termasuk Indonesia. Pada saat yang bersamaan, pasar modal saat ini telah memperhitungkan probabilitas resesi yang cukup tinggi di negara maju seperti Amerika dan Eropa.

        Seiring dengan resiko resesi yang cukup tinggi, pasar juga memperkirakan kenaikan suku bunga akan lebih moderat di 2023 akibat adanya kemungkinan perlambatan pertumbuhan.

        Oleh karena kondisi kurang kondusif, permintaan obligasi di Eropa dan Amerika berkurang drastis dan memicu arus keluar dari obligasi. Demikian pula untuk pasar modal negara berkembang seperti Indonesia, namun permintaan domestik yang cukup besar serta adanya skema burden sharing antara BI dan Kementerian Keuangan, dapat memberikan penyeimbang dari arus keluar investor asing.

        Mempertimbangkan kebijakan fiskal dan moneter yang akan lebih ketat di waktu dekat ini serta diperkirakan diiringi oleh perlambatan pertumbuhan, Jesse menyarankan investor untuk memilih strategi durasi pendek untuk memitigasi risiko perlambatan pertumbuhan dan suku bunga tinggi.

        Untuk pasar obligasi Indonesia, akibat adanya kenaikan Pertalite dan Pertamax beberapa saat yang lalu, inflasi dalam jangka pendek diperkirakan akan meningkat ke level 6.3% untuk tahun 2022. Defisit anggaran akan kembali ke level 3% untuk tahun 2023 dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun pada 7.85% akibat tidak berlanjutnya program burden sharing.

        Pada kondisi pasar saat ini, durasi yang dipilih untuk portfolio masih pendek, dengan mempertimbangkan akan adanya kenaikan imbal hasil untuk tenor panjang setelah terjadinya penjualan pada obligasi tenor pendek. Kondisi pasar diperkirakan lebih menantang di 2023 terutama karena absennya skema burden sharing serta tingkat suku bunga GWM yang tinggi.

        Dilain sisi, Ni Made Muliartini, dalam paparannya lebih membahas kondisi pasar modal domestik Indonesia. Ia menjelaskan, walaupun kondisi perekonomian dunia saat ini sedang carut marut, ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Kondisi ini dimungkinkan karena Indonesia secara geografis jauh dari daerah konflik geopolitik serta cukup diuntungkan oleh kondisi harga komoditas yang tinggi.

        Kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi awal September ini menjadi langkah penting pemerintah walaupun menghadapi banyak tentangan dari masyarakat. Inflasi diperkirakan akan meningkat untuk beberapa bulan ke depan terlebih pengusaha kemungkinan akan membebankan kenaikan BBM ini ke dalam harga produknya.

        Pasar saham cukup resilient dalam menghadapi kondisi ekonomi yang menantang ini terutama lebih banyak ditopang oleh investor individu serta arus masuk investor asing yang masih positif hingga akhir Agustus. Sementara itu di pasar obligasi tercatat kepemilikan asing yang makin menurun ke level terendah di 15%.

        Walaupun pasar saham memiliki valuasi yang tidak murah lagi, namun laporan keuangan emiten yang sebagian besar baik, serta outlook perekonomian yang masih bagus, diperkirakan akan menjadi penopang jika terdapat koreksi. Sementara pada obligasi, strategi yang diterapkan masih pada durasi pendek untuk mengantisipasi fluktuasi dalam jangka pendek ini.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Sufri Yuliardi
        Editor: Sufri Yuliardi

        Bagikan Artikel: