Pemecatan Suharso Monoarfa dari Ketua Umum PPP Dinilai Tidak Sah, Praktisi Hukum: Aktor Intelektualnya Harus Diusut
Konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memutuskan untuk mendepak Suharso Monoarfa dari posisi ketua umum, buntut kontroversi yang didapatnya dari ucapan "amplop kiai" dan segala permasalahan lainnya. Menanggapi hal ini praktisi hukum Pitra Romadoni Nasution memberikan pandangannya. Ia menilai pemecatan terhadap tidak sah.
"Bisa dikatakan tidak sah. Apalagi, jika para peserta Mukernas itu tidak dihadiri ketua, sekretaris dan bendahara sebagaimana layaknya organisasi," katanya di Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Dia menyebut organisasi politik harus sesuai AD/ART. Jika bertentangan dengan AD/ART, keputusan atau hasil Mukernas tidak sah.
"Aktor intelektualnya harus diusut. Kalau bukan pemegang mandat PPP sesuai AD/ART, itu merupakan pembegalan terhadap ketua yang sah," ujarnya.
Presiden Kongres Pemuda Indonesia itu mengatakan pergantian Ketua Umum PPP juga harus jelas mengenai kesalahan apa yang telah diperbuat.
"Legalitas pengurusan partai politik harus melalui keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)," ucapnya.
Mengacu Pasal 23 Undang-Undang Partai Politik menyatakan susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan tingkat pusat, didaftarkan ke Kemenkumham paling lama 30 hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.
Jika ditinjau dari perspektif legal-formal, kekhawatiran tersebut agak berlebihan karena kewenangan atributif Menkumham untuk mengesahkan perubahan kepengurusan partai politik hanya dapat dilakukan dalam keadaan normal atau tidak ada konflik.
Terkait izin Mukernas dari polisi, Pitra mengatakan hal tersebut hanya masalah pengamanan dan sifatnya administrasi. Namun, yang dipermasalahkan adalah keputusannya.
"Pergantian Suharso Monoarfa sebagai Ketua Umum PPP terkesan mengandung hostile take over," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: