Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ungkit Nasib Ade Armando, Pengamat: Penggunaan Politisi Identitas Harus Disanksi Keras!

        Ungkit Nasib Ade Armando, Pengamat: Penggunaan Politisi Identitas Harus Disanksi Keras! Kredit Foto: Twitter/Sigit Widodo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyebut bahwa 40,6 persen preferensi masyarakat menginginkan Pilpres 2024 diikuti lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil calon presiden.

        "Lalu kita kejar pada pertanyaan kusioner dengan menanyakan alasan masyarakat agar pilpres diikuti lebih dari 2 pasangan capres-cawapres, sebesar 41,9 persen menjawab agar rakyat mendapatkan pilihan pemimpin alternatif," jelas Pangi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/9/22).

        Baca Juga: Anies Baswedan Tiba-tiba Tuntaskan Janji Politik Resmikan Rusunawa, Ade Armando Nggak Terima: Kita Layak Bertanya-tanya…

        Dia mencatat ada sebanyak 41,1 persen masyarakat yang meminta agar tidak terjadi konflik sosial dan perpecahan. Selain itu, Pangi menyebut ada sebesar 9,2 persen agar memberi kesempatan kepada para pemimpin muda

        "Sebesar 7,2 persen agar tidak terjadi eksploitasi politik identitas dan tidak tahu tidak jawab sebesar 0,6 persen," jelasnya.

        Sementara itu, Pangi mengaku risih dengan sikap politisi yang mewajari munculnya dua poros koalisi dengan dua calon kandidat dalam pilpres 2024 mendatang. Dia menyebut bahwa kejadian hal tersebut bisa memperpanjang keretakan dalam hubungan bermasyarakat.

        "Politisi yang tidak mempermasalahkan fenomena capres hanya diikuti dua pasang capres-cawapres, saya merasa mereka adalah politisi yang tidak mau belajar dari fakta politik masa lalu, bagaimana kita merasakan dan menyaksikan langsung kerusakannya akibat polarisasi isu dan politik identitas yang menyebabkan keterbelahan publik pada Pilpres 2019," jelasnya.

        Baca Juga: Dituduh Masuk dalam DPO Kasus Korupsi, Ade Armando Nggak Terima: Fitnah!

        Pangi menyebut, keretakan yang diakibatkan dari dua kubu koalisi memiliki luka yang cukup berat bagi demokrasi Indonesia. Pengeroyokan Ade Armando beberapa waktu lalu, kata Pangi, merupakan salah satu contoh keterbelahan masyarakat akibat dua kubu yang saling berlawanan.

        "Kita bisa menyaksikan bagaimana pengeroyokan terhadap Ade Armando, selama ini elite mengatakan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, ternyata keterbelahan itu ada dan nyata  terjadi di tengah masyarakat," katanya.

        Dia menilai, politik identitas dan polarisasi isu juga menyebabkan kerusakan yang nyata pada pesta demokrasi di Pilpres 2019 lalu. Berdasarkan hal tersebut,  Pangi menilai, Indonesia sebagai bangsa yang kuat mestinya tidak kembali membuka Kotak Pandora yang didalamnya terdapat polarisasi isu dan politik identitas.

        Baca Juga: Pengamat Sesali PSI Gunakan Politik Identitas untuk Serang Anies Baswedan: Tidak Bagus! Jadinya Menuduh

        Dia menyebut, sedikitnya terdapat tiga cara penting dalam meredam politik identitas yang muncul dari dua kubu koalisi dalam kontestasi elektoral Pilpres 2024. Pertama, kata Pangi, sedikitnya mesti ada tiga calon pasangan dalam pesta demokrasi pilres 2024 nanti.

        "Sehingga ada pemecah gelombang agar tidak terulang kembali kontestasi rematch Pilpres 2014 dan 2019 dengan kekuatan head to head (bipolar) bertumpu pada dua kutub pasangan calon presiden," katanya.

        Kedua, kata Pangi, mesti ada penegakan hukum yang adil tanpa diskriminatif terhadap para buzzer politik, tim sukses, relawan maupun calon presiden apabila terbukti menggunakan politik identitas sebagai komoditas politik. Dia menilai, pola semacam ini mesti ada sanksi yang keras dan tegas berupa pidana dan pemotongan masa waktu kampanye agar ada efek jerah. 

        Baca Juga: Narasi Politik Identitas Menyeruak Jelang Pilpres 2024, Ray Rangkuti Tegas: Mulai Ada Kebutuhan untuk Menolaknya

        "Ketiga, harus ada konsensus dan komitmen bersama untuk tidak lagi menggunakan narasi politik identitas dan isu-isu SARA yang jelas merusak tatanan simpul kehidupan berbangsa dan bernegara," jelasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Andi Hidayat
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: