Polarisasi dan Beda Pendapat dalam Pilpres 2024 Wajar, yang Bahaya Politik Identitas
Menurut Eko Kuntadhi, adanya polarisasi jelang atau selama Pilpres 2024 mendatang adalah kewajaran namun yang perlu diwaspadai adalah politik identitas yang membawa-bawa iman dan agama tertentu.
Eko menyinggung mengenai politik identitas yang tersebar saat Pilkada Gubernur Jakarta yang dimenangkan oleh Anies Baswedan.
“Ingat dong Pilkada Jakarta sampai sekarang polarisasinya masih terasa ketika ada seruan diharamkan memilih pemimpin yang tidak muslim gitu yang bukan beragama Islam sampai sekarang polarisasinya masih terasa,” jelasnya.
Baca Juga: Jelang Pilpres 2024, Pernyataan AHY Dianggap Pengamat Terlalu Memanipulasi Publik
Namun katanya, polarisasi berbahaya jika sudah membawa-bawa iman atau menyebut-nyebut kafir.
“Jadi sebetulnya kritik-kritik terhadap problematika kebangsaan itu kritiknya bolak-balik aja tergantung posisinya. Masing-masing ketika jadi berkuasa, dia berpikirnya beda ketika jadi oposisi,” kata Eko.
Yang penting itu adalah kecerdasan atau kesadaran publik, bagaimana publik memahami hal tersebut sebagi perbedaan umum saja.
Baca Juga: Membaca Kemungkinan Anies-AHY Maju dalam Pilpres 2024, Eko Kuntadhi: Marketing Sedang Dimainkan
Eko mengatakan, dalam demokrasi pasti ada polarisasi. Ada partai penguasa, ada partai oposan dan ujung-ujungnya dua kekuatan ini pasti akan merembes mencari dukungan masing-masing dan ujung-ujungnya terjadi polarisasi.
“Polarisasi itu biasa-biasa saja dalam demokrasi jadi nggak usah terlalu mengkhawatirkan ini ada polarisasi,” kata dia.
“Yang tidak biasa ketika polarisasi politik ditunggangi oleh isu-isu agama ini yang disebut dengan politik identitas. Politik identitas sebetulnya normal bila digunakan secukupnya,” katanya.
Baca Juga: PDIP Tak Restui Presiden Jokowi Maju Lagi di Pilpres 2024: Itu Konyol dan Otoriter!
Eko mengatakan, wajar kalau ada orang Jawa memilih orang Jawa atau misalnya orang Sunda memilih lebih dan cenderung suka dengan pemimpin yang dari Sunda. Demi putra daerah itu, masih normal.
“Ingat dong Pilkada Jakarta sampai sekarang polarisasinya masih terasa ketika ada seruan diharamkan memilih pemimpin yang tidak muslim gitu yang bukan beragama
Islam sampai sekarang polarisasinya masih terasa,” kata dia.
“Tapi kalau udah nyangkut surga neraka, udah nyangkut iman satu atau kafir. Ini yang bahaya karena polarisasi. Kayak gini akan terus terbawa jauh setelah Pemilu selesai,” tambah dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty