Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Salah Arti Akan Pemahaman Garis Kemiskinan, KSP: Ini Harus Diluruskan!

        Salah Arti Akan Pemahaman Garis Kemiskinan, KSP: Ini Harus Diluruskan! Kredit Foto: KSP
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Panutan Sulendrakusuma menilai, banyak yang salah dalam memahami garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Dia mengatakan, Bank Dunia menghitung garis kemiskinan ekstrem berdasarkan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP), bukan berdasarkan kurs di pasar. 

        Panutan menyampaikan ini menanggapi pemberitaan media yang menyebut, pendapatan per kapita per hari di Indonesia Rp32.812 atau Rp984.360 per kapita per bulan, dengan asumsi Kurs Rp15.216 per dolar AS. 

        Baca Juga: Ekspor Ikan Hias Indonesia Prospektif, Triwulan I Capai Rp137,27 Miliar

        "Pemahaman tentang kemiskinan ekstrem ini harus diluruskan. Jadi hitungannya berdasar paritas daya beli bukan mengalikannya dengan kurs dolar Amerika di pasar," kata Panutan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/10/22). 

        Sebagai informasi, dalam laporan terkininya, Bank Dunia merevisi garis kemiskinan ekstrem dari USD1,90 menjadi USD2,15 per kapita per hari. 

        Dengan batasan seperti itu, Bank Dunia mengestimasi jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia 2021 mencapai 9,8 juta orang atau 3,6 persen. Angka resmi untuk Indonesia sebagai acuan program pemerintah akan dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

        Panutan menjelaskan, selain mengubah batas miskin ekstrem dari USD1,9 menjadi USD2,15 per kapita per hari, Bank Dunia juga mengubah asumsi paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). Yakni, dari PPP 2011 menjadi PPP 2017. 

        Perubahan terhadap asumsi PPP tersebut, sambung dia, dihitung oleh Bank Dunia melalui International Comparison Program (ICP), dan digunakan agar perbandingan antar negara dapat dilakukan secara lebih baik. 

        Baca Juga: Indonesia Bidik Ekspor Produk Biomassa Cangkang Sawit ke Jepang

        "Perubahan PPP ini terjadi karena adanya faktor inflasi," jelas Panutan. 

        Masih menurut Panutan, jika didasarkan pada garis USD2,15 per kapita per hari, dan PPP tahun 2017, Bank Dunia menghitung bahwa garis kemiskinan ekstrem Indonesia setelah dikonversi ke rupiah adalah Rp11.605 per kapita per hari, bukan sekitar Rp2.812 per kapita per hari, seperti yang diberitakan oleh banyak media. 

        "Bank Dunia sendiri menyatakan jumlah penduduk miskin ekstrem di dunia tidak berubah signifikan setelah perubahan metode tersebut, termasuk di Indonesia," terangnya. 

        Baca Juga: Mendag Zulhas Lepas Ekspor Produk UMKM Halal Hub ke Arab Saudi Senilai Rp15,22 Miliar

        Panutan juga menegaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan untuk mengurangi kemiskinan ekstrem hingga mendekati 0 persen pada 2024. Untuk mewujudkannya, ujar dia, pemerintah telah melakukan konvergensi program penanganan kemiskinan ekstrem, yang difokuskan pada tiga pilar. 

        Ia menyebut, mengurangi beban pengeluaran, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi kantong-kantong kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur dasar.

        Seiring dengan perkembangan terkini, sambung Panutan, pemerintah juga terus berupaya mengendalikan inflasi. Yakni, melalui sinergi kebijakan fiskal dan moneter, serta menyalurkan berbagai program bantuan. 

        "Tentu targetnya dapat menurunkan inflasi dan mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya miskin dan miskin ekstrem," tegasnya. 

        Baca Juga: Punya Potensi Besar, Pemain Baru Bisnis Cloud Asal Korsel ini Ekspansi ke Indonesia

        "Kantor Staf Presiden akan terus mengawal program penghapusan kemiskinan ekstrem bersama kementerian/lembaga terkait," pungkas Panutan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Andi Hidayat
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: