Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Hard Market Pasar Asuransi Domestik Jadi Pil Pahit yang Ditelan Bersama untuk Restorasi Industri Asuransi Nasional

        Hard Market Pasar Asuransi Domestik Jadi Pil Pahit yang Ditelan Bersama untuk Restorasi Industri Asuransi Nasional Kredit Foto: Ist
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia Rendezvous, ajang pertemuan tahunan industri asuransi umum dengan mitra reasuransi dalam dan luar negeri jelang pembaruan kontrak reasuransi treaty (treaty renewal), kembali digelar di Nusa Dua Bali pada 12-15 Oktober 2022.  

        Indonesia Rendezvous 2022 yang merupakan edisi ke-26 terasa istimewa. Tidak hanya karena digelar selepas dua tahun jeda akibat pandemi, namun juga sebab industri asuransi umum saat ini sedang berada dibawah lampu sorot untuk alasan yang salah.   

        Direktur Teknik Operasi Indonesia Re, Delil Khairat mengungkapkan bila tekanan klaim lini bisnis asuransi kredit yang meningkat berlipat-lipat telah membuka tabir banyak blunder mendasar dan sistematis dalam pengelolaan eksposur kredit perbankan oleh industri asuransi umum.  Lemahnya pengetahuan industri asuransi akan karakteristik asuransi kredit terefleksi dari pricing yang tidak memadai, pencadangan yang tidak tepat dan terms and conditions yang sangat longgar dan agresif. 

        “Tingginya biaya akuisisi serta semakin agresifnya perbankan dengan mengeluarkan produk pembiayaan berisiko tinggi serta belum efektifnya regulasi turut memperburuk performa bisnis ini.  Persoalan asuransi kredit ini telah menjadi perhatian banyak pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan regulator OJK,” ujar Delil. 

        Baca Juga: OJK Minta Industri Asuransi Bersiap Hadapi Risiko Akibat Lonjakan Klaim Asuransi Kredit

        Lebih lanjut Ia mengungkap jika terlepas dari gonjang-ganjing asuransi kredit, industri asuransi umum dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Telah 17 kuartal lamanya, berarti lebih dari empat tahun, pasar reasuransi global berada dalam kondisi hard market, yaitu harga proteksi reasuransi yang mahal dan terus menanjak, kapasitas yang menyusut serta terms and conditions yang semakin ketat.  

        “Para pemain reasuransi global telah menikmati hasil hard market ini yang terefleksi pada laporan keuangan mereka. Namun ada anomali di Indonesia dimana justru didalam empat tahun terakhir portofolio reasuransi treaty dalam negeri selalu memberikan hasil negatif (kerugian) bagi pihak reasuransi,” ungkap Delil. 

        Menurutnya, ada setidaknya tiga faktor utama penyebab situasi ini.  Pertama adalah struktur reasuransi treaty yang tidak berimbang dan tidak sustainable. Struktur reasuransi treaty mengacu pada rancang bangun dari kombinasi teknik-teknik reasuransi treaty seperti quota share, surplus dan excess of loss, yang membentuk program reasuransi treaty sebuah perusahaan asuransi. Ketidakberimbangan dan unsustainability treaty antara lain ditunjukkan oleh ratio premi dan kapasitas, dimana premi reasuransi terlalu kecil untuk kapasitas yang terlalu besar yang disuplai oleh perusahaan reasuransi.  

        Demikian pula ratio kapasitas reasuransi terhadap retensi dimana kapasitas reasuransi terlalu besar dibandingkan retensi perusahaan asuransi. Struktur yang tidak berimbang ini membuat program reasuransi tidak efektif dalam menyerap volatilitas. Satu dua klaim besar cukup membuat program treaty menjadi defisit dan diperlukan waktu berpuluh tahun untuk kembali ke posisi break-event, apabila tidak dilakukan restrukturisasi. 

        Kedua adalah pricing. Dalam metode reasuransi treaty proporsional, tingkat pricing kapasitas reasuransi direfleksikan oleh seberapa besar komisi reasuransi yang diberikan oleh perusahan reasuransi kepada perusahan asuransi. Tingkat komisi reasuransi treaty Indonesia yang mencapai 35 persen bahkan lebih memang relatif terlalu tinggi dalam kondisi hard market saat ini. Hal ini menjadi salah satu penyebab perusahaan-perusahaan reasuransi besar luar negeri enggan memberi proteksi reasuransi treaty proporsional bagi perusahaan asuransi dalam negeri.

        Sementara itu untuk reasuransi treaty metode non-proporsional, pricing ditunjukkan oleh seberapa besar premi yang dikenakan terhadap volume bisnis yang diproteksi atau terhadap besaran kapasitas yang disuplai. Lagi-lagi, tingkat harga reasuransi non proporsional Indonesia relatif terlalu murah untuk situasi hard market. 

        Faktor ketiga adalah konsentrasi risiko berlebihan di dalam portofolio yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan reasuransi dalam negeri. Konsentrasi atau akumulasi yang terlalu tinggi adalah salah satu momok yang menakutkan bagi perusahaan asuransi atu reasuransi yang mengelola portofolio risiko.

        “Itulah sebabnya penyebaran risiko yang luas dan diversifikasi merupakan dua senjata ampuh yang digunakan asuradur dan reasuradur dalam mengurangi konsentrasi risiko,” jelasnya. 

        Baca Juga: Gelar Indonesia Rendezvous ke-26, AAUI: Inovasi Jadi Modal Industri Asuransi Bertahan di Tengah Dinamika Bisnis

        Namun, bagi reasuradur, memonitor konsentrasi tidak selalu dapat dilakukan maksimal, antara lain karena fitur non-reporting yang berlaku dalam reasuransi treaty, dimana reasuradur tidak memiliki akses untuk melihat detail risiko-risiko yang diproteksi oleh treaty.

        Dalam konteks asuransi umum Indonesia lanjut Delil, saat ini konsentrasi berlebihan di dalam portofolio reasuransi terjadi karena dua hal utama, yaitu penerapan metode ko-asuransi dan facultative inward yang melibatkan terlalu banyak perusahaan asuransi domestik serta penempatan fakultatif ke luar negeri dengan metode excess of loss. Ko-asuransi adalah mekanisme penutupan satu objek pertanggungan oleh dua atau lebih perusahaan asuransi.

        Sedangkan facultative inward mengacu pada praktek dimana perusahaan asuransi bertindak sebagai reasuradur dan menerima transfer risiko dari perusahaan asuransi lain di pasar asuransi yang sama dengan metode fakultatif. Kedua teknik penyebaran risiko ini telah disalahgunakan untuk menyembunyikan risiko-risiko yang berperforma tidak terlalu baik dan atau dengan terms and conditions polis yang agresif dan tidak memadai kedalam treaty-treaty banyak perusahaan asuransi.  

        “Risiko yang tidak terlalu baik kualitasnya dibagi-bagi kepada banyak perusahaan asuransi melalui ko-asuransi (dan atau facultative inward) kepada banyak sekali perusahaan asuransi (hingga 15, 20, 25 bahkan lebih dalam satu polis) dengan saham yang kecil-kecil sehingga dapat disembunyikan kedalam treaty masing-masing. Dengan demikian risiko ini tidak pernah muncul di pasar reasuransi fakultatif, sehingga reasuradur tidak berkesempatan untuk mempengaruhi terms and conditions menjadi lebih baik. Pemicu konsentrasi dalam negeri berlebihan yang kedua adalah praktek penempatan fakultatif ke luar negeri dengan metode excess of loss. Karena market di Indonesia tetap soft disaat pasar global sedang hard market, maka risiko-risiko besar dari Indonesia tidak lagi dapat diterima di luar negeri dengan metode fakultatif proporsional yang dapat memastikan penyebaran risiko yang sempurna,” imbuh Delil. 

        Satu-satunya satu jalan agar risiko Indonesia dapat diproteksi adalah melalui excess layer, artinya perusahaan reasuransi luar negeri memproteksi risiko apabila kerugian telah melewati ambang batas tertentu yang disebut excess atau deductible. 

        Artinya, sepanjang kerugian itu masih berada dibawah excess, sepenuhnya ditahan oleh perusahaan asuransi dan reasuransi didalam negeri. Bagian ini disebut juga primary layer yang mengalami fenomena capacity compression yaitu meningkatnya konsentrasi risiko secara eksponensial akibat adanya layer diatasnya.

        Konsentrasi berlebihan ini menjadi maksimal apabila dua modus operandi ini diterapkan bersamaan pada satu risiko yang sama. Sebenarnya treaty-treaty mengecualikan risiko-risiko yang di cover dengan metode excess of loss seperti ini, namun ditengarai mereka tetap mengalir ke treaty karena pada banyak kasus para asuradur panel ko-asuransi tidak mengetahui bahwa ada layar diatas loss limit yg mereka cover. 

        “Perusahaan asuransi dan reasuransi yang telah menuntaskan renewal treaty reasuransi maupun retrosesi di paruh kedua tahun ini telah merasakan dampak hard market pasar reasuransi global terutama dalam hal kenaikan harga kapasitas. Terjadinya banyak klaim-klaim besar yang tergolong market losses menambah intensitas hard market untuk program treaty Indonesia,” sebutnya. 

        Baca Juga: Lewat IIC 2022, Indonesia Re perkuat peran industri reasuransi bagi ekonomi nasional

        Perusahaan reasuransi domestik yang berada ditengah-tengah value chain, diantara perusahaan asuransi lokal dan reasuransi luar negeri, tidak punya pilihan kecuali meneruskan kondisi hard market ini kepada perusahaan asuransi berupa kenaikan premi excess of loss, penurunan komisi reasuransi dan pengetatan terms and conditions, terutama dalam mengurangi konsentrasi berlebihan serta meningkatkan transparansi bisnis reasuransi. 

        “Kenaikan harga dan pengetatan terms and conditions ini tentu tidak mengenakkan bagi industri asuransi dalam negeri,” tuturnya. 

        Namun Delil mengutarakan sesungguhnya ia adalah mekanisme supply demand yang sedang bekerja melakukan koreksi atas kondisi pasar asuransi Indonesia yang tidak sustainable. Bila soft market terus berlanjut di dalam negeri, sementara pasar luar terus hardening, perusahaan-perusahaan reasuransi lokal akan mencapai batas kesanggupannya dan akhirnya akan tumbang. Tumbangnya perusahaan-perusahaan reasuransi adalah petaka bagi perusahaan-perusahan asuransi dalam negeri. 

        “Maka, hard market pasar asuransi domestik semestinya dapat dimaknai sebagai pil pahit yang harus ditelan bersama untuk menyehatkan dan merestorasi industri asuransi nasional,” tutup Delil.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: