Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Eropa dan Amerika Krisis, Asia Tenggara Tetap Menarik

        Eropa dan Amerika Krisis, Asia Tenggara Tetap Menarik Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Resesi dan stagflasi menjadi hantu perekonomian dunia saat ini. Banyak yang meramal situasi terburuk belum tiba dan krisis ekonomi global baru akan menampakkan wajah sesungguhnya pada 2023 mendatang.

        Meski semua negara akan merasakan dampaknya, tetapi kadar risiko yang dihadapi setiap negara belum tentu sama. Pada acara Indonesia Summit yang diselenggarakan Bank Danamon, Hiroshi Watanabe Presiden Institute for International Monetary Affairs, melihat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, memiliki daya tahan yang cukup baik.

        “Sepanjang negara-negara Asia mampu menjaga keberlangsungan produksi, Asia akan terus mampu berperan dalam perekonomian global. Stabilitas yang dimiliki negara-negara Asia tidak hanya menguntungkan ekonomi di negara kawasan, tapi juga berdampak baik terhadap perekonomian dunia,” kata Watanabe.

        Baca Juga: Ancaman Resesi Semakin Nyata, Ini Tips Persiapan Diri Hadapi Resesi

        Menurut Watanabe, apa yang terjadi saat ini adalah dunia mengalami gejolak inflasi, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini memicu kebijakan moneter ketat di mana banyak negara menaikkan tingkat suku bunga. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah laju pertumbuhan ekonomi tertahan, bahkan bisa terkontraksi sehingga membuka peluang terjadinya resesi.

        Kenaikan suku bunga The Fed memicu penguatan yield obligasi AS dan imbasnya mata uang dollar semakin menguat. Di September 2022, indeks dollar yang mengukur kekuatan mata uang dollar terhadap 6 mata uang utama dunia mencetak rekor tertinggi dalam 20 tahun terakhir ke level 109,59.

        “Situasi semakin rumit karena perang Rusia dengan Ukraina telah memicu dampak negatif terhadap perdagangan global. Rusia sebagai salah satu produsen minyak dan gas mendapat sanksi larangan ekspor. Ukraina, produsen gandum terbesar keempat di dunia juga mengalami hambatan pengiriman komoditas tersebut,” katanya.

        Karena Rusia dan negara pendukung Ukraina saling mengunci aktivitas ekonomi, harga komoditas energi dan pangan melonjak. Di Eropa krisis energi tidak terelakkan karena Rusia adalah pemasok utama gas di kawasan tersebut. Transisi energi selain gas membutuhkan waktu yang tidak sebentar sehingga konflik Ukraina-Rusia juga menyeret negara-negara Eropa ke dalam pusaran krisis.

        Isu lain adalah perang dagang AS dan China yang semakin memburuk akibat perlambatan ekonomi di China. Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan kurang dari 3% tahun ini.

        Menurut Watanabe, di saat pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan China melambat, Asia Tenggara memiliki keuntungan, terutama Indonesia. “Negara ini diuntungkan karena memiliki komoditas yang melimpah dan ini sebuah keuntungan yang mungkin tidak dimiliki oleh negara Asia lainnya,” katanya.

        Terkait capital outflow akibat kenaikan suku bunga The Fed yang agresif, negara-negara berkembang mulai merasakan imbasnya. Apa yang terjadi saat ini mirip dengan apa yang terjadi di 1980 an dan 1990 an di mana terjadi arus modal keluar. “Tapi likuiditas asing saat ini masih tetap bertahan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang memberikan return lebih tinggi. Jadi, meskipun suku bunga naik, Asia masih memiliki posisi yang baik saat ini, terutama Indonesia,” katanya.

        Maka itu, posisi Asia masih sangat menarik berkat pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang negara-negara Asia mampu menjaga keberlangsungan produksi, Asia akan terus mampu berperan dalam perekonomian global. “Stabilitas yang dimiliki negara-negara Asia tidak hanya menguntungkan ekonomi di negara kawasan, tapi juga berdampak baik terhadap perekonomian dunia,” kata Watanabe.

        Baca Juga: Antisipasi Dampak Resesi Global, Pemerintah Siapkan Insentif dan Stimulus Bagi Pelaku Industri

        Riyatno, Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian Investasi BKPM, mengamini optimisme Watanabe terhadap prospek ekonomi Indonesia dan peranannya dalam menjaga stabilitas ekonomi kawasan serta dunia.

        “Tahun 2022 adalah momentum pemulihan bagi ekonomi Indonesia. Di antara negara anggota G20, inflasi Indonesia kedua terendah setelah China. Tingkat kemiskinan turun ke level 9,54%, lebih rendah dari level sebelum pandemi. Tingkat pengangguran juga di 2022 juga lebih dibandingkan 2021 atau tahun dimana wabah merebak begitu luas,” katanya.

        Berbagai indikator tersebut, Riyatno melanjutkan, membuat posisi Indonesia cukup menarik bagi investor. Realisasi investasi pada Januari-September 22 mencapai Rp 892 triliun atau hampir 75% dari target sepanjang tahun 2022. “Yang menarik, sejak Q3 2022, investasi lebih besar mengalir di luar Jawa dengan porsi 52%. Hal itu merupakan buah dari pembangunan infrastruktur yang massif di wilayah luar Jawa,” katanya pada acara yang sama.

        Riyatno menjelaskan, berdasarkan sektor ada peralihan cukup signifikan di mana Basic Metal Industry, Metal Goods, Non Machinery and Equipment terus meningkat di mana pada 2019-2021, investasi di sektor tersebut naik 91% menjadi Rp 117 triliun. Di tahun 2021 sektor tersebut menempati urutan pertama realisasi investasi di Indonesia. Hal itu sejalan dengan kebijakan hilirisasi di sektor mineral dan pertambangan (minerba).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: