Komnas HAM Beri Rekomendasi Kritis Soal Penyelenggaraan Pemilu yang Bebas dan Adil
Berdasarkan hasil laporan pengamatan situasi pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional warga negara prapemilu serentak 2024 dalam perspektif hak asasi manusia, Komnas HAM memberikan beberapa rekomendasi kepada pihak penyelenggaraan dan pemerintah dalam gelaran pemilu yang adil dan bebas di tahun 2024 mendatang.
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM/Komisioner Mediasi Komnas HAM, Hairansyah, memaparkan bahwa terdapat beberapa rekomendasi penyelenggaraan pemilu berdasarkan aspek bebas dan adil bagi kementerian dan lembaga yang terlibat sebagai penyelenggara pemilu yang di 2024 mendatang.
Baca Juga: Komnas HAM: Politik Uang hingga Kematian Ratusan Petugas KPPS Bisa Terjadi Kembali di Pemilu 2024
Pertama, Hairansyah mengatakan bahwa Komnas HAM mendorong pemerintah dan DPR untuk menerbitkan regulasi yang menjamin partisipasi publik secara luas dalam pemilu. Dalam hal ini, penjaminan yang dimaksud ialah menyampaikan pendapat politik, pemanfaatan teknologi informasi, dan mekanisme pos sebagai alternatif dalam pemungutan suara dalam skala yang lebih luas untuk diakses publik dalam memberikan suara.
Dia memaparkan, rekomendasi tersebut didasari pada situasi pandemi Covid-19 sebagaimana yang terjadi pada pemilu di tahun 2020 lalu. Di sisi lain, kata Hairansyah, penetapan tanggal pelaksanaan pemilu yang dinilai rawan kemungkinan terjadi bencana alam.
"Kami mendorong penggunaan teknologi informasi itu dilakukan secara lebih baik sehingga hambatan-hambatan teknis dan hambatan-hambatan geografis dan juga hambatan-hambatan terkait bagaimana setiap orang harus menjaga protokol kesehatannya dalam kegiatan tahapan penyelenggaraan pemilu, terutama pada saat pemungutan suara itu bisa diantisipasi," katanya Hairansyah dalam konferensi pers virtualnya, Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Selain itu, Hairansyah juga memberikan rekomendasi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memberikan jaminan perlindungan dan perlakuan khusus terhadap kelompok rentan, yang di antaranya penyandang disabilitas, narapidana dan tahanan, pasien rumah sakit.
Dia menilai, kelompok rentan tersebut mesti mendapat jaminan ketersediaan data pemilih yang akurat dan akuntabel. Dengan begitu, kata Hairansyah, kelompok rentan dapat terfasilitasi sebagai pemilih sesuai hak konstitusionalnya.
"Itu (masalah penyelenggaraan di KPU) masih terjadi. Pencatatan data pemilih yang belum maksimal sehingga mengancam para pemilih menggunakan hak pilihnya karena merak tidak terdaftar, demikian juga dengan penggunaan KTP-el syarat penggunaan hak pilih," jelasnya.
Dia juga memaparkan bahwa Komnas HAM juga mendorong pemerintah untuk memberikan peningkatan pencegahan dan penindakan secara menyeluruh kepada Bawaslu untuk memproses pelanggaran dan tindak pidana dalam penyelenggaraan pemilu. Dengan begitu, dia menilai penerapan hukum akan lebih efektif, termasuk meningkatkan integritas dan kapasitas jajaran Bawaslu.
"Karena sering kali, Bawaslu misalkan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang bersifat prosedural yang menyebabkan Bawaslu misalkan dalam melaksanakan tugasnya tidak bisa lebih responsif dan substantif untuk menyelesaikan berbagai aduan kepada mereka," jelasnya.
Baca Juga: Gak Main-main, Komnas HAM Usul PSSI Bekukan Sementara Seluruh Pertandingan Sepak Bola
Komnas HAM juga memberikan rekomendasi pada Mahkamah Konstitusi untuk menjamin kelangsungan sidang dalam sengketa pemilu. Hal tersebut dinilai penting untuk menjaga objektivitas dan transparansi peradilan sengketa.
"Sehingga peradilan menjadi sarana untuk mencari keadilan substantif, tidak hanya mengedepankan aspek prosedural hukum formal saja," katanya.
Lebih lanjut, Hairansyah juga mengatakan bahwa Komnas HAM merekomendasikan agar KPU dan Bawaslu selalu memastikan one man one vote. Hal tersebut dinilai penting untuk menjaga implementasi dari suara pemilih dan penindakan hukum etik secara tegas terhadap penyelenggara hang terbukti melanggar prinsip tersebut.
"Ini menyangkut pemurnian suara dalam penyelenggaraan pemilu di mana hak setiap dalam memberikan suaranya adalah dijamin untuk tidak terjadi perubahan, baik itu perubahan pilihan karena memang ada kesalahan teknis penyelenggara, maupun adanya upaya kecurangan yang menyebabkan terjadi kesalahan pada tingkat TPS sebelumnya atau kemudian hilangnya suara seseorang karena aspek teknis yang tidak disengaja atau memang unsur kesengajaan," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: