Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ichsanuddin Noorsy Sebut Presiden Jokowi Tidak Kompeten: Tapi Loyalis Punya Pemikiran yang Tidak Logis!

        Ichsanuddin Noorsy Sebut Presiden Jokowi Tidak Kompeten: Tapi Loyalis Punya Pemikiran yang Tidak Logis! Kredit Foto: Populis
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ekonom sekaligus pengamat politik Ichsanuddin Noorsy memberi istilah pemuja kepada para pendukung pemerintah atau loyalis Presiden Jokowi

        Menurut dia, ini karena mereka sudah menganggap Presiden Jokowi satu-satunya sosok yang akan menyelamatkan Indonesia, seperti Ratu Adil lah istilahnya.

        “Berbagai macam data yang seharusnya menggiring pemahaman bahwa petahana tidak kompeten atau tidak smart, tidak diindahkan oleh mereka. Awalnya saya tidak ambil pusing, karena itu biasa,” kata Ichsanuddin Noorsy dalam tulisannya.

        Baca Juga: Refly Harun Sebut Presiden Jokowi ‘Sengaja’ Pecat Anies Baswedan Jadi Mendikbud, Alasannya Ternyata…

        “Saya pikir, ini adalah fenomena defense mechanism saja. Namun,Ichsanuddin Noorsy melihat argumentasi menarik dari mulut mereka, yang menggiring saya pada kesimpulan bahwa defense mereka bukan defense biasa,” tambahnya.

        Ia kemudian membandingkan para loyalis seperti teori tentang perilaku religius orang-orang pagan (penyembah berhala). 

        “Mereka menyembah benda-benda, atau makhluk-makhluk seperti hewan dan tumbuhan, bukan karena akal tapi mereka yakin bahwa yang disembah itu mampu memberikan kebaikan,” ungkap dia.

        “Jika dipikir dengan akal, maka mereka tahu bahwa benda dan makhluk yang disembah itu tidak logis dapat memberikan kebaikan kepada mereka. Namun mengapa terus disembah?” tambahnya. 

        Menurutnya, dari pakar psikologi agama mengatakan, justru karena tidak logis itulah maka berhala-berhala itu disembah. Para penyembah berhala itu disebut sebagai orang-orang yang “mabuk keajaiban”.

        “Mereka adalah orang-orang yang menyukai keajaiban secara berlebihan. Sebagai contoh, untuk menjelaskan keajaiban yang dimaksud: para penyembah berhala itu tahu, kalau ingin kaya, mereka harus bekerja dengan rajin. Jadilah pedagang atau jadilah pegawai. Namun itu rasional, bukan keajaiban,” kata dia.

        Baca Juga: Presiden Jokowi Sedang Bimbang Tentukan Jagoan dalam Pilpres 2024, Pengamat Sebut Ini Kelebihan Prabowo Dibandingkan Ganjar

        “Ajaib itu menjadi kaya dengan menyembah batu! Tidak masuk akal, namun justru itulah yang namanya keajaiban. Kalau masuk akal, itu bukan keajaiban tapi logis/rasional,” tambahnya.

        Ichsanuddin Noorsy perhatikan, dinamika psikologis inilah yang bekerja dalam otak kelompok pemuja Presiden tersebut. 

        “Semakin ditunjukkan bahwa petahana memiliki kekurangan-kekurangan dan tidak logis kalau beliau dapat memperbaiki Indonesia, semakin mereka bersemangat mendukung petahana,” jelas dia.

        Ahli hukum tata negara dan pengamat politik, Rerfly Harun pun ikut menyetujui perkataan Ichsanuddin Noorsy. 

        “Jadi itu sebagian jawabannya kenapa orang kemudian ngotot sekali dengan pemerintahan yang sekarang karena salah satunya dalam perspektif Ichsanuddin Noorsy karena mabuk keajaiban,” kata dia seperti dilansir dari youtubenya Selasa (22/11/22).

        Baca Juga: Pesan Penting Presiden Jokowi Kepada PP Muhammadiyah: Tekankan Pentingnya Penguatan Pendidikan

        “Tapi kalau kita bicara tentang kenikmatan kekuasaannya atau untung tidak untung, relasi kekuasaan maka kadang-kadang memang kita tidak pernah mencari yang terbaik,” katanya.

        Menurutnya, kita mencari yang kira-kira bisa kita kompromikan. Lalu yang kedua yang bermanfaat, berguna bagi kelompok tertentu. 

        “Karena itu ngomong sama orang yang merasakan nikmatnya rezim ini misalnya walaupun dilanda di atas irasionalitas dan tadi mengharapkan keajaiban itu juga susah,” ungkapnya.

        Baca Juga: Ikut Kecam Hinaan Terhadap Istri Presiden Jokowi, Refly Harun Curhat: Kayak Saya Dikatain 'Monyet!'

        “Karena mereka merasa bahwa ini adalah kenikmatan yang mereka dapatkan ya dengan menjadi part of the state, part of the government, part of the rezim. Jadi kalau mereka sudah merasakan kenikmatan itu, ya pendidikan jadi nggak penting,” tambahnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
        Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty

        Bagikan Artikel: