Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sinkronisasi Data Jadi Kunci Penyusunan Kebijakan Tepat Sasaran

        Sinkronisasi Data Jadi Kunci Penyusunan Kebijakan Tepat Sasaran Kredit Foto: Kominfo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah diminta serius menyikapi fenomena diskrepansi data yang sering terjadi di setiap kementerian/lembaga. Pasalnya, data yang tidak akurat dan berbeda-beda akan berdampak pada kebijakan yang tidak tepat sasaran.

        Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, mengatakan urgensi sinkronisasi data sangat tinggi mengingat ini adalah basis perumusan suatu kebijakan sehingga perlu dipastikan validitas dan akurasinya. Menurut Ahmad, data yang valid dan berkualitas akan menjadi navigator arah kebijakan dan program pemerintah.

        Baca Juga: Waspada Modus Kejahatan! Install Aplikasi Sembarangan, Data Pribadi Bisa Dicuri

        "Kualitas data yang tidak baik akan menimbulkan anomie (kebingungan) yang tentu akan berdampak pada kebijakan yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Sinkronisasi data cukup penting sebagai upaya mewujudkan visi Satu Data Indonesia sebagaimana amanat Perpres No. 39 Tahun 2019," ujar Ahmad kepada wartawan (22/11).

        Menurut Ahmad, diskrepansi data masih sering terjadi utamanya karena ego sektoral yang masih cukup tinggi antar kementerian/lembaga. Hal ini menunjukkan bahwa Visi Satu Data Indonesia belum terimplementasi dengan baik. Padahal, Presiden, melalui Perpres 39/2019, telah mengamanatkan agar data yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi acuan dalam program pembangunan. 

        Baca Juga: Duh! Terjadi Disparitas Data Stok Beras, Buwas Sebut Data Kementan Tak Ada di Lapangan

        Ahmad juga menjelaskan sebagai perwujudan dari Visi Satu Data Indonesia, saat ini Indonesia memiliki tiga pembina data, yaitu Kementerian Keuangan sebagai leader untuk urusan data keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS) untuk kepentingan statistik, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk data spasial.

        Setiap pembina data, lanjut Ahmad, harus menjadi acuan untuk setiap kebutuhan data yang sesuai bidangnya. Selain itu, pembina data juga harus menetapkan struktur dan standar baku bagi data yang berkaitan dengan lintas sektor. 

        "Di sinilah kerja kerja sinkronisasi dapat diterapkan. Misalnya data di bidang statistik leading sector-nya ada di BPS, data di bidang keuangan adalah Kemenkeu dan data geospasial leading sektornya adalah BIG," papar Ahmad.

        Salah satu data yang memicu perhatian publik adalah soal prevalensi perokok anak, mengingat terjadi perbedaan antara data BPS dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Berdasarkan data BPS, angka perokok anak terus turun dalam tiga tahun terakhir.

        Baca Juga: Nusantara Academy Hadirkan Data Center Academy untuk Lahirkan Talenta Digital Indonesia

        Pada tahun 2021, prevalensi rokok anak tercatat 3,69%, lebih rendah dibandingkan 2020 dan 2019 masing-masing sebesar 3,81% dan 3,87%. Sementara itu, data Riskesdas menyebutkan prevalensi perokok anak terus meningkat dari 7,20% pada 2013 menjadi 9,10% pada 2018. 

        Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Eva Susanti mengatakan perbedaan data ini terjadi lantaran adanya perbedaan metodologi pengambilan data mulai dari sampel yang diteliti hingga cara menghitung hasil.

        "Beda cara pengambilan datanya, sampel yang diteliti serta cara hitungnya maka ini semua mempengaruhi hasil," ujar Eva kepada wartawan.

        Tidak ada detail terkait metode apa yang membuat angka hasil survei menjadi sangat jauh berbeda.

        Baca Juga: Biar Nggak Salah Bikin Kebijakan, Kemenkes Diminta Manfaatkan Data BPS

        Perbedaan metodologi ini, menurut Eva yang membuat hasil antara Susenas dan Riskesdas berbeda. Akan tetapi, ia bersikeras bahwa hasil Riskesdas lebih valid dan akurat menurut Kementerian Kesehatan.

        "Riskesdas 5 tahun sekali, tahun depan ada lagi, tunggu saja," kata Eva.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ayu Almas

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: