Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        'PBB Lupa Etika dalam Diplomasi', Kemenlu Tepis Kritikan Tajam Soal KUHP: Jangan Koar-koar di Media

        'PBB Lupa Etika dalam Diplomasi', Kemenlu Tepis Kritikan Tajam Soal KUHP: Jangan Koar-koar di Media Kredit Foto: Shutterstock/Barry Tuck
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengkritik pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang disahkan Selasa (6/12/2022) mendapat sentilan keras dari pemerintah.

        Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah menuturkan, pemanggilan perwakilan PBB telah dilakukan kemarin pagi. Kata dia, pemanggilan itu merupakan bagian hubungan diplomasi.

        Baca Juga: KUHP Baru Berikan Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Lebih Baik

        “Ada baiknya perwakilan asing untuk tidak terburu-buru menyimpulkan (soal KUHP) dan menyampaikan pendapat dengan jalur diplomasi,” ujar Faizasyah, kepada awak media di Kantor Kemlu, Jakarta, kemarin.

        Eks Duta Besar (Dubes) RI untuk Kanada itu menambahkan, pihaknya selalu terbuka dengan para perwakilan asing yang ingin menyampaikan pendapat. Karena menurutnya, itu merupakan adab diplomatik.

        “Kami membuka kesempatan yang lebar,” tegasnya, tanpa menyebut nama perwakilan tersebut.

        Menurut Faizasyah, selayaknya dalam komunikasi diplomatik, pendekatan yang dipakai tidak menggunakan media sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diklarifikasi.

        “Dengan begitu, ada norma dalam hubungan diplomatik yang sepatutnya dilakukan perwakilan asing di suatu negara,” imbuh Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (Dirjen IDP) Kemlu itu.

        Kendati demikian, dia tidak merinci hal yang dibahas dalam pertemuan itu, agar pihak yang dipanggil bisa menyampaikan pandangan dan memberikan penjelasan.

        Terkait kekhawatiran perwakilan PBB juga, pada kesempatan itu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan, organisasi tersebut telah mengirimkan surat ke DPR. Surat itu diterima Komisi III DPR pada 25 November 2022.

        “Ketika surat itu diterima, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP sudah mendapat persetujuan tingkat pertama sehari sebelumnya. Jadi sudah terlambat,” jelas pria yang akrab disapa Eddy itu.

        Dalam surat itu, lanjutnya, PBB menawarkan bantuan. Terutama terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan persoalan HAM. Namun, Pemerintah dan DPR sudah sepakat. Apalagi, persetujuan tingkat pertama sudah dilakukan.

        Terkait hal yang jadi perhatian PBB, pihaknya sudah menerima berbagai masukan dari masyarakat. Menurut Eddy, pasal penghinaan serta penyerangan harkat dan martabat itu sangat ketat diatur dalam penjelasan.

        Bahwa yang dimaksud dengan penyerangan harkat dan martabat itu ada dua. Yakni menista dan fitnah. Tidak lebih dan tidak kurang.

        Bahkan dalam penjelasan sudah dikatakan, bahwa pasal itu tidak dimaksudkan untuk membungkam demokrasi, kebebasan berekspresi,dan kebebasan berpendapat. Karena kritik dalam unjuk rasa itu sangat diperlukan bagi negara demokrasi sebagai kontrol sosial.

        “Artinya dengan penjelasan pasal ini secara tidak langsung kita mengatakan bahwa kritik dan unjuk rasa itu boleh,” ucap Eddy.

        Terkait persoalan zina dan kohabitasi (istilah yang ditujukan kepada pasangan yang tinggal satu atap tanpa ikatan perkawinan), menurutnya, juga sudah tidak ada permasalahan. Hal tersebut sudah ada dalam pasal 284 KUHP yang lama.

        Dalam KUHP yang baru, pasal itu merupakan delik aduan yang absolut. Yang boleh mengadu hanya suami atau istri.

        Baca Juga: Terkait Pasal Perzinahan KUHP, KSP: Kritik Perlu Diletakkan pada Porsinya

        Terkait soal kohabitasi, ia mengatakan, sejak 2021 sampai 2022, pihaknya selalu melakukan dialog publik di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Tapi, ada satu provinsi yang dengan tegas menolak pasal ini. Alasannya, pasal ini terlalu masuk ranah pribadi.

        Namun, dia bercerita, ketika pihaknya ke Sumatera Barat, masyarakat memprotes Pemerintah. Karena pasal ini dianggap terlalu lemah.

        Mereka (Sumbar) tidak mau ini delik aduan. Mereka meminta delik biasa. Dengan alasan, hal itu merusak moral dan bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Indonesia adalah mayoritas Islam.

        Terkait wisatawan, menurutnya, tidak akan bisa dijerat pasal ini. Menurutnya, saat sepasang wisatawan berlibur ke Indonesia, tanpa terikat perkawinan yang sah, hanya ada dua pihak yang mungkin mengadu. Anak-anak atau orang tua mereka yang notabene tidak berada di Indonesia.

        Sebagai informasi, sejumlah kekhawatiran disampaikan PBB dalam pernyataan di website resmi indonesia.un.org berjudul Statement on the new Indonesian Criminal Code. Mereka menilai, KUHP tersebut tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan HAM.

        Dalam pernyataan tersebut, PBB menyampaikan kekhawatirannya. Salah satunya, karena beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.

        Disebutkan dalam pernyataan yang dirilis Kamis (8/12) itu, orang lain akan mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.

        Masih dalam pernyataan yang sama, pasal lainnya berisiko melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial negatif terhadap anggota agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: