Bawaslu 'Teriak' Anies Baswedan Bisa Dipidana, 5 Tahun Jadi Gubernur Tidak Sah karena Harus Diberhentikan? Ahli Beri Jawaban Tegas, Simak!
Di tengah heboh masalah utang Anies Baswedan ke Sandiaga Uno terkait Pilkada DKI Jakarta 2017, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menyebut bahwa Anies bisa dipidana karena masalah tersebut berkaitan dengan ketentuan batas maksimal sumbangan di kontestasi pemilihan kepala daerah. Apakah artinya kepemimpinan Anies tidak sah karena harus diberhentikan?
Mengenai hal ini, Hamdani, mantan Staf Ahli Mendagri 2014-2022 mengatakan bahwa Anies tidak bisa diberhentikan soal utang piutang kampanye ini.
“Apakah peristiwa ini umpamanya Anies masih menjabat, apakah bisa berakibat diberhentikan? Saya katakan tidak bisa,” jelas Hamdani saat berbincang bersama wartawan senior Hersubeno Arief dari Forum News Network (FNN) di kanal Youtube Hersubeno Point, dikutip Minggu (19/2/23).
Bukannya tanpa alasan, Hamdani menegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah diatur hal-hal apa saja yang bisa memberhentikan kepala daerah atau gubernur.
Dalam UU tersebut dikatakan Hamdani tidak mengatur perkara pemberhentian kepala daerah karena masalah utang piutang.
“Maka kalau kita baca dalam pasal 78 ayat 2 huruf a, yang dapat diberhentikan terkait Pilkada dikatakan di sini menggunakan dokumen atau keterangan palsu sebagai persyaratan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang menerbitkan dokumen tersebut, misalnya ijazah palsu,” jelasnya.
“Tapi di luar penggunaan dokumen palsu terkait proses pencalonan tidak ada peristiwa yang dimasukkan dalam UU tersebut sebagai sanksi pidana yang berdampak terhadap pemberhentian kepala daerah,” tegasnya.
Terkait tudingan Anies bisa dipidana soal utang piutang terkait batas maksimal sumbangan dana kampanye yang diributkan Bawaslu. Maka Hamdani Hamdani yang ikut terlibat dalam pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2016 ini sebagai unsur pemerintah saat sedang dirancang menegaskan yang terjadi terkait Anies di Pilkada DKI bukanlah sumbangan.
Besaran maksimal per orang Rp75 juta dan badan atau lembaga Rp750 juta menurut Hamdani adalah sumbangan yang artinya diberikan dengan kerelaan tanpa adanya syarat yang mengikat, sedangkan yang dilakukan Anies adalah murni utang piutang yang artinya itu adalah dana yang dikeluarkan calon, dan itu tidak ada batasnya.
“Kalau dia masuk kategori sumbangan maka dia masuk pidana karena melebihi batasan tadi, kalau berkaitan utang piutang UU Nomor 10 tahun 2016 tidak mengatur baik batasan maupun sanksinya jadi itu tidak ada pidananya,” ujarnya.
“Itu tidak bisa dikatakan sumbangan karena bersyarat, kalau kita bicara sumbangan maka kriterianya jelas pemberian tanpa syarat, jadi tidak ada persyaratan yang mengikat. Begitu dia ada persyaratan ketentuan dia tidak jadi sumbangan karena sumbangan bebas. Kenapa tidak masuk dalam kelompok sumbangan? Karena dia bersyarat, itu namanya penyelesaian pinjaman. Bahwa penyelesaian pinjaman itu dibayar atau dinyatakan lunas itu masalah perjanjian, dibayar kalau kalah dinyatakan lunas kalau menang,” jelas Hamdani.
Karenanya, Hamdani menegaskan bahwa Anies tidak bisa diberhentikan dari jabatannya saat itu, dan kalaupun masalah ini terkuak saat Anies masih menjabat maka Anies tidak bisa diberhentikan menggunakan dalih UU 10 tahun 2016.
Baca Juga: Terbongkar! Tanpa Sandiaga Uno Salat Istikharah, Utang Anies Baswedan yang Diributkan Sudah Lunas
“Jadi ini jelas jangan sampai ada framing kalau Anies ketahuan kemarin bisa berhenti Anies, saya katakan tidak, saya tentu lebih paham tentang UU 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, tidak ada pasal lain yang berkaitan dengan peristiwa pilkada yang dihubungkan dengan UU 10 tahun 2016 yang bisa memberhentikan,”
“Jadi sah adanya Anies selama menjabat sebagai gubernur tadi. Jangan sampai ada kesan ini karena diungkapkan setelah Anies selesai tugas Gubernur menjadi tidak perbuatan hukum,” jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyebut bahwa masalah utang dana kampanye Anies bisa masuk pidana karena melebihi batas sumbangan yang ditentukan UU Nomor 10 tahun 2016 yakini per orang Rp75 juta dan Badan atau lembaga Rp750 juta.
"Itu seharusnya bermasalah, seharusnya itu pelanggaran pidana. Itu pidana karena dia tidak menyebutkan itu di laporan akhir dana kampanye," kata Bagja dikutip dari Republika, Minggu (19/2/23).
Meski menurutnya bermasalah, menurutnya ini tak bisa lagi diusut karena sudah kadarluarsa.
"Biasanya kalau pilkada-nya sudah selesai, ya tidak bisa diusut. Kecuali (pelanggaran dana kampanye ini) ditemukan di awal-awal masa jabatan. Ini kan udah selesai masa jabatannya, baru muncul. Aneh juga baru muncul sekarang, ini lah repotnya kita ini," ujar Bagja.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait: