Lintasi 'Rute Maut', Para Migran Tenggelam Bersama 'Impian Eropa' di Mediterania
Tekanan kondisi hidup, keputusasaan dan keinginan untuk hidup 'lebih baik' di Eropa membuat Muhammad Ali (21) menaiki kapal pengangkut migran yang penuh sesak bulan lalu untuk menyeberangi laut yang berbahaya di dunia.
Sayangnya, Ali tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkannya. Kapal itu terbalik di perairan Laut Mediterania tak lama setelah meninggalkan pantai Benghazi di Libya menuju Italia.
Baca Juga: Kapal Imigran Tujuan Italia Karam, Korban Tewas Lebih dari 60 Orang
Ali dan banyak lainnya meninggal, dia bersama impian dan harapan para pencari suaka tenggelam di tengah laut.
"Teman-temannya semua telah pergi ke Italia dan membujuknya untuk bergabung dengannya. Kami mencoba menghentikannya, tetapi dia tidak mendengarkan kami. Dia ingin pergi ke Eropa," kata Chaudhry Mansha Bhojpur, paman almarhum Ali, berbicara kepada Anadolu via telepon di Pakistan.
Ali berada di kapal yang mengalami kecelakaan saat menuju Italia pada 22 Februari, insiden tersebut menyebabkan 16 orang tewas.
Pemerintah Pakistan mengatakan bahwa setidaknya tujuh orang yang meninggal adalah warganya.
Banyaknya jumlah korban di kapal yang karam itu kembali menyoroti tingkat migran gelap yang menggunakan jalur laut berbahaya untuk mencapai Eropa.
Sejak awal tahun, 327 migran telah meninggal atau hilang di Laut Mediterania, menurut the Missing Migrants Project.
Proyek ini diprakarsai oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) PBB untuk mendokumentasikan pergerakan migran.
Pada 26 Februari, sebuah perahu kayu yang penuh sesak menabrak bebatuan di lepas pantai Italia selatan dan menewaskan sedikitnya 67 orang, termasuk pria, wanita dan anak-anak.
Keluarga Ali, yang berduka atas kematiannya, mengatakan ini adalah masa kesedihan.
"Ali terus membujuk orang tuanya, mengapa dia tidak bisa tinggal bersama teman-temannya? Mengapa orang tuanya tidak bisa mengirimnya? Mengapa orang tuanya tidak bisa melakukan apa pun untuknya? Itu adalah pemerasan emosional," kata Bhojpur.
Pada 17 Februari, Ali terbang ke Mesir dari Dubai dan menuju Libya, kemudian dia bertemu dengan agen yang menyediakan perjalanan laut.
Sebelum naik kapal, Ali berbicara dengan keluarganya dan memberi tahu mereka bahwa dia akan mengirim pesan kepada mereka ketika dia memiliki koneksi internet.
Selama dua hari, mereka tidak memiliki informasi tentang dia. Kemudian keluarganya mendapat kabar dari media internasional tentang kecelakaan kapal tersebut. Jasad Ali dikenali oleh keluarganya melalui video dan gambar yang beredar di media sosial.
"Tolong jangan terpengaruh oleh siapa pun. Teman-teman Ali telah berhasil sampai ke Italia dan dia berpikir bisa mencapai ke sana. Tapi ini adalah rute yang berbahaya," tutur paman Ali, sambil mengatakan bahwa mereka menghubungi otoritas Libya untuk membawa pulang.
Rute berbahaya migran
Konflik, kemiskinan, perang, dan kekerasan merupakan alasan mengapa orang meninggalkan negara asalnya dan, dalam beberapa kasus, ada orang-orang yang terpaksa untuk bermigrasi, ungkap Ayselin Yildiz, profesor Hubungan Internasional di Universitas Yasar.
Sebagian besar migran berasal dari negara-negara seperti Afghanistan, Pakistan, Somalia, dan Iran.
Baca Juga: Prancis Disebut Enggak Adil, Ada Kesenjangan Antara Pengungsi Ukraina dan Migran Lainnya
"Lebih dari 90 persen migran yang tiba di Italia dari Afghanistan menggunakan jalur Turkiye sebagai transit," kata Yildiz.
Menurutnya, penyelundup migran merupakan salah satu aktor kunci yang berpengaruh dalam menentukan jalur dan terkadang mengalihkan jalur.
Dalam beberapa tahun terakhir, penyelundup migran telah mempromosikan Italia sebagai tujuan para migran karena sebagian besar dari mereka menghadapi penolakan keras dari otoritas Yunani.
"Salah satu alasannya mungkin karena itu. Karena semakin banyak penolakan oleh otoritas Yunani. Ini yang banyak kami kritik karena ini benar-benar melanggar hukum internasional dan hukum hak asasi manusia," ujar Yildiz.
Tapi rute menuju Italia via Laut Mediterania berbahaya, panjang, dan amat mahal. Italia bisa menjadi tempat transit orang-orang yang menggunakan jalur menuju Jerman atau negara-negara Eropa Utara atau tujuan akhir bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Menasihati negara-negara Eropa tentang cara menangani masalah ini, profesor itu mengatakan, "Wacana Uni Eropa selalu tentang hak asasi manusia, tentang nilai-nilai fundamental. Namun, kami tidak dapat melihat cara reguler atau rute aman yang terbuka bagi para migran."
Dia menyarankan negara Eropa untuk mengambil tindakan pencegahan, bekerja pada akar penyebab, dan mengatasi konflik tersebut.
"Selama Anda tidak memiliki jalur dan cara untuk menawarkan migrasi reguler kepada orang-orang, maka penyelundup akan menemukan cara untuk mengisi celah ini karena orang-orang ini putus asa. Dan mereka siap mengambil semua risikonya," tukas dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: