Transisi energi yang berkeadilan penting diterapkan dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai target 31,89 persen yang tertera dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Namun, saat ini pemahaman dan penerapan prinsip adil dalam proses transisi energi, melenceng dari pemahaman yang seharusnya.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Indonesia Torry Kuswardono mengatakan, transisi energi saat ini adalah salah logika. Sebab transisi energi tetap menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang (tetap) mengandalkan eksploitasi.
Baca Juga: ASEAN Butuh US$29,4 Triliunan untuk Transisi Energi 100 Persen EBT
Menurutnya, langkah mitigasi krisis iklim dalam transisi energi, prosesnya harus berkeadilan dan menjamin terjadinya integrasi ekosistem, lingkungan, dan integritas sosial.
Torry menilai transisi energi tidak hanya berpatokan pada target penurunan emisi semata. Tetapi harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan dilakukan penilaian untuk melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya.
“Mitigasi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan ke depannya akan memunculkan masalah baru, misalnya dengan adanya kebijakan kendaraan listrik, perlu dilakukan asesmen, bagaimana dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitarnya, jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam bertransisi dan berujung pada ketidakadilan,“ ujar Tory dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (4/4/2023).
Tory mengatakan bahwa transisi energi yang berkeadilan yang didorong pemerintah, masih belum jelas di mana letak keadilannya.
"Seperti apa prinsip-prinsip keadilan itu diterapkan? [Berkaca pada situasi saat ini], prinsip keadilan ini perlu didefinisikan ulang," ujarnya.
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan prinsip keadilan adalah hal yang paling fundamental pada transisi energi.
Dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan, ia menyebut bahwa Trend Asia menggaungkan nilai, prinsip, dan langkah strategis dari transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia salah satunya adalah akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif.
"Penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia, keadilan ekologis, keadilan ekonomi, transformatif, bukan sekadar transisi teknologi tetapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi secara menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi yang regeneratif dan demokratis," ujar Ashov.
Adapun empat langkah strategis yang dapat dilakukan adalah dengan percepatan pensiun dini PLTU dan pengakhiran pertambangan batu bara, meninggalkan solusi-solusi palsu transisi energi.
Selain itu juga diperlukan adanya reformasi PLN dan kebijakan energi, perancangan dan implementasi transisi energi yang akan memastikan bahwa transisi dijalankan secara berkelanjutan dengan titik tekan perlibatan publik dan proses yang bottom-up.
Lanjutnya, ia menyebut Indonesia mempunyai target 23 persen untuk bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Namun, hingga saat ini pencapaiannya masih rendah yaitu sekitar 11-12 persen.
Hal ni karena masih banyak kebijakan pemerintah yang kontradiktif, yakni masih berpihak pada industri fosil, di mana masih ada 13,8 Giga Watt PLTU yang dipertahankan pemerintah untuk terus dibangun tanpa tenggat waktu yang pasti untuk penghentian pembangunan PLTU batu bara baru, dan masih banyaknya insentif bagi industri batu bara.
“Aspek penting lainnya adalah bahwa konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah terjadinya transisi energi tetapi tidak menyasar pada masalah utamanya, bahkan menghasilkan solusi-solusi palsu seperti co-firing batu bara atau gasifikasi batu bara,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: