Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Koalisi Nasionalis-NU Sering Dipakai saat Pilpres, Rizal Ramli: Hanya Sebatas Simbolisme Saja

        Koalisi Nasionalis-NU Sering Dipakai saat Pilpres, Rizal Ramli: Hanya Sebatas Simbolisme Saja Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Depok -

        Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) disebut-sebut akan menjadi sosok yang potensial untuk menjadi calon wakil presiden (Cawapres) pada Pilpres 2024, khususnya dari Jawa Timur.

        Ganjar Pranowo maupun Anies Baswedan saat ini sedang gencar melakukan kunjungan ke beberapa tokoh NU demi menambah suara dalam pemilihan di tahun depan. Sementara itu, Prabowo Subianto diisukan akan menggandeng Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sebagai calon wakil presidennya.

        Menanggapi hal tersebut, mantan Menteri Koordinator bidang Perekonomian pada era Gus Dur, Rizal Ramli, mengatakan bahwa panggung perpolitikan Indonesia saat ini tidak bisa dilepaskan dari Nahdlatul Ulama (NU) khususnya dari Pulau Jawa.

        Baca Juga: Capres Gencar Cari Cawapres dari NU, Rizal Ramli: Kasihan NU Dijadikan Label Buat Raup Suara Doang!

        “Memang politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Nahdlatul Ulama (NU), terutama di Pulau Jawa. Dan kalau kita lihat di Sumatra Utara, kelompok terbesar nomor dua yaitu NU. Jadi selain di luar Jawa, basis NU itu kuat sekali,” kata Rizal Ramli, dikutip dari kanal Youtube Total Politik pada Senin (15/5/2023).

        Ia menyatakan bahwa saat ini ajakan koalisi dengan NU banyak dilakukan dengan cara yang kasar, misalnya hanya dengan menggunakan uang saja.

        “Semua di politik Indonesia mengerti kalau mau menang ya harus merangkul NU. Cuma ada yang merangkulnya itu kasar, main nebar duit doang. Dia (politikus) mikir asal bayar sini atau menebar uang di sini, warga NU bakal dukung,” tuturnya.

        Sementara itu, ia mengatakan bahwa NU merupakan kelompok yang secara ekonomi memiliki strata yang paling rendah di dalam masyarakat dibandingkan dengan kelompok nasionalis atau Muhammadiyah. Namun faktanya, beberapa tokoh politik memanfaatkan massa NU tetapi tidak memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan warga NU.

        “Padahal grassroot (akar-rumput) NU, pertama, dia secara politik beraliran moderat. Kedua, mereka nasionalis. Ketiga, mereka betul-betul ingin NU atau partai yang didukung oleh orang-orang NU itu untuk meningkatkan kesejahteraan umat NU karena secara strata sosial, NU itu ada di paling bawah secara ekonomi. Tetapi, beberapa tokohnya itu sering memanfaatkan massa NU ini,” jelasnya.

        Lebih lanjut, Rizal Ramli mengatakan bahwa ia kasihan dengan NU yang hanya dijadikan alat dalam meraup suara pemilih saja. Setelah terpilih, kepentingan konstituen NU akan terlupakan. Menurutnya, jika pemimpin terpilih bekerja dengan benar, maka kelompok yang paling diuntungkan adalah kalangan NU.

        “Dalam konteks ini, saya suka kasihan NU ini dipakai label buat meraup suara doang, habis itu dilupakan, nasib konstituennya di bawah. Jadi rakyat kita mau NU maupun nasionalis sering ketipu karena isinya slogan-slogan doang. Sudah waktunya pimpinan bekerja betul-betul untuk rakyat. Kalau bekerja untuk rakyat, yang paling diuntungkan adalah yang paling bawah yaitu kalangan NU,” katanya.

        Ia kemudian menyatakan bahwa koalisi nasionalis-NU dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tersebut hanya sebatas simbolis saja. Ia kemudian membandingkan pemimpin Indonesia dengan pemimpin di China, Jepang, dan Korea yang  berjiwa nasioanlisme sehingga benar-benar memperjuangkan kepentingan bangsa.

        “Karena kalau nasionalisme dan NU itu bergabung, itu akan jadi kekuatan yang dahsyat, bisa mengubah Indonesia. Sayangnya elite kita hanya pakai ini sebagai simbolik saja, buat memenangkan suara doang. Indonesia ini kan kaya raya banget, kok 40% rakyatnya miskin. Saya itu sejak mahasiswa enggak terima, makanya kita cari tahu terus kenapa. Kesimpulannya, pemimpin-pemimpin kita hanya simbolisme dan slogan saja. Beda sama di China, Jepang, atau Korea, pemimpinnya itu betul-betul cari nasionalisme dalam konteks baru supaya mengangkat bangsanya,” jelasnya.

        “Saya sampai hari ini percaya bahwa Indonesia bisa pertumbuhannya enggak cuma 6% per tahun, 12% kenapa enggak, negara-negara lain bisa kok. Tapi karena kelas pemimpinnya itu hanya sebatas simbolisme slogan saja,” tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Novri Ramadhan Rambe
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: