
Waktu seolah berputar lebih cepat ketika kita masih sibuk mengeruk kerak bumi, sementara dunia sudah mulai menambang energi dari matahari. Ketika negara-negara lain sedang membangun data center bertenaga angin, kita masih menyebut batu bara sebagai tulang punggung ekonomi. Dunia sudah berubah, dan Indonesia tidak boleh lagi hanya berjalan, kita harus berlari cepat.
Dalam kerangka itu, kelahiran Danantara menyimpan harapan baru. Sebuah entitas investasi negara yang digadang-gadang akan berdiri di atas kaki profesionalisme, menjauhi godaan politik praktis, dan membawa Indonesia masuk ke arena permainan ekonomi masa depan: ekonomi hijau dan teknologi cerdas.
Ketika kita berbicara tentang transformasi ekonomi, seringkali perdebatan berkutat pada istilah teknokratis. Namun, sesungguhnya ini tentang keberanian memilih masa depan. Di sinilah Danantara hadir. Bukan sekadar lembaga investasi, tapi simbol dari tekad baru: bahwa Indonesia ingin keluar dari jebakan ekonomi berbasis ekstraksi.
Sudah terlalu lama kita menjadi eksportir bahan mentah (sawit, batu bara, lalu juga nikel) dan membiarkan nilai tambah dinikmati negara lain. Kita membanggakan surplus dagang, padahal yang dijual adalah isi bumi yang tak akan terisi kembali. Saatnya berubah. Danantara harus jadi kendaraan untuk perubahan itu.
Belajar dari Negara Lain
Susunan pengurus Danantara adalah salah satu elemen kunci yang menumbuhkan harapan publik. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi publik yang kerap dicemari kepentingan politik, Danantara tampil beda. Bukan hanya dalam struktur, tapi juga dalam sosok-sosok yang mengisinya.
Tiga nama mencolok patut menjadi sorotan: Rosan Roeslani sebagai CEO yang dikenal sebagai pengusaha berpengalaman dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, membawa jejaring global dan kemampuan negosiasi tinggi. Lalu, Pandu Sjahrir sebagai CIO, yang sudah lama berkecimpung di dunia investasi energi dan teknologi, dikenal vokal dalam mendukung transisi energi dan adopsi digital. Dan tentu saja, Jeffrey Sachs, ekonom dunia yang masuk sebagai penasihat, menjadi simbol bahwa Danantara tidak hanya bermain lokal, tapi sedang menata pijakan global.
Kita tahu, struktur yang efektif pada sovereign wealth fund ditentukan oleh kepemimpinan visioner, independensi dari intervensi politik, serta keberanian untuk berinvestasi di sektor masa depan. Sachs dalam berbagai tulisannya juga menekankan bahwa "sustainable development requires a shift in mindset: from exploiting what we have to nurturing what we can grow."
Danantara, jika tetap dijaga dalam semangat ini, berpotensi menjadi kendaraan akselerasi Indonesia keluar dari ketergantungan pada SDA. Dengan pengurus yang memiliki rekam jejak global dan kredibilitas yang tak diragukan, lembaga ini punya kans besar untuk mengubah paradigma investasi negara. Dari konsumtif menjadi produktif, dari lokal menjadi global, dari eksploitatif menjadi regeneratif.
Dixon dan Monk (2012) menyoroti bahwa keberhasilan SWF seperti Norway's Goverment Pension Fund Global (GPFG) bergantung pada struktur pada tata kelola yang terpisah dari intervensi politik langsung, serta kemampuan untuk fokus pada horizon investasi jangka panjang. Mereka juga secara implisit menyinggung pentingnya kepemimpinan yang kompeten.
Lebih lanjut, keberhasilan sovereign wealth fund disebut bergantung pada tiga hal: tata kelola independen, kepemimpinan yang meritokratis, dan keberanian mengambil keputusan jangka panjang. Tanpa tiga hal ini, lembaga seperti Danantara hanya akan jadi replika birokrasi dengan baju baru. Selain itu, penting juga menekankan diversifikasi sektor investasi ke arah teknologi digital, energi hijau, dan pengembangan SDM, agar tidak terjebak pada ekonomi ekstraktif yang stagnan.
Dalam konteks ini, Danantara memiliki semua bahan dasar untuk sukses—asal diracik dengan resep yang tepat. Profesionalisme bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi pengurus, tapi bagaimana keputusan strategis diambil, dipantau, dan disesuaikan dengan dinamika global. Dan di sini, benchmark dari lembaga seperti Temasek dan Norges Bank bisa dijadikan rujukan hidup. Mereka memulai dari bawah, tapi tumbuh karena prinsip dasar yang konsisten: keberlanjutan dan integritas.
Kita punya matahari, angin, dan kekuatan anak muda. Tapi yang lebih penting, kita mulai punya lembaga seperti Danantara. Sekarang tinggal pertanyaannya: apakah kita berani menjaga agar tetap bersih dan tajam arah tujuannya? bisa belajar dari negeri jiran dan negara jauh yang telah meniti jalan ini lebih dahulu. Temasek di Singapura, Khazanah di Malaysia, dan Norges Bank Investment Management di Norwegia, semuanya punya kesamaan: mereka bebas dari intervensi politik, dikelola secara profesional, dan berpandangan jauh ke depan. Tidak ada ruang untuk "titipan jabatan" atau kepentingan jangka pendek.
Temasek, misalnya, tak ragu mengalihkan sebagian besar portofolionya ke sektor energi terbarukan dan teknologi digital. Mereka berinvestasi di startup berbasis AI, teknologi pertanian hijau, hingga baterai masa depan. Norges Bank bahkan secara terbuka menjauh dari investasi di perusahaan yang tidak mematuhi prinsip keberlanjutan.
Mengapa mereka bisa? Karena mereka meletakkan etika, profesionalisme, dan keberlanjutan sebagai fondasi. Danantara punya peluang yang sama. Bahkan lebih besar. Indonesia bukan hanya kaya SDA, tapi juga punya kekayaan yang belum tergarap: matahari yang bersinar sepanjang tahun, angin di pesisir, dan generasi muda yang melek digital.
Game Changer
Namun harapan tak cukup tanpa keberanian. Danantara harus berani melampaui pendekatan konvensional. Ia harus menjadi game changer yang mengalihkan investasi dari sektor padat karbon ke energi baru terbarukan (EBT); solar, angin, bioenergi, hingga panas bumi. Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, tapi baru segelintir yang dimanfaatkan.
Lebih dari itu, Danantara bisa menciptakan ekosistem investasi hijau: mendanai startup energi terbarukan, menciptakan dana abadi untuk riset teknologi bersih, hingga membentuk kolaborasi antara kampus dan industri untuk teknologi penyimpanan energi. Bayangkan jika Danantara menjadi green sovereign wealth fund terbesar di ASEAN. Bukan hanya menjaga bumi, tapi menciptakan jutaan lapangan kerja baru.
Energi terbarukan bukan sekadar soal lingkungan. Ia adalah soal kedaulatan. Saat kita terus mengimpor BBM, defisit energi menjadi luka ekonomi yang menganga. Tapi bila kita bisa mandiri dengan EBT, maka ketahanan energi menjadi kenyataan. Dan lebih dari itu, kita bisa menjadi eksportir teknologi dan solusi hijau.
Di titik ini kita diingatkan kembali oleh Jeffrey Sachs, yang menyebutkan, "The great economies of the 21st century will be those that master clean energy and smart technology." Indonesia masih bisa jadi bagian dari barisan itu, jika kita punya keberanian.
Danantara, dengan struktur yang dirancang independen, adalah kesempatan untuk menulis ulang arah pembangunan. Tapi ia akan gagal jika hanya menjadi wajah baru dari pola lama. Maka, transparansi, meritokrasi, dan keberanian memilih sektor masa depan harus menjadi nafas utama.
Bukan mustahil Indonesia akan dikenal bukan karena tambangnya, tapi karena inovasinya. Bukan karena ekspor sawitnya, tapi karena kepemimpinan di bidang energi bersih dan kecerdasan buatan.
Akhirnya, ini bukan hanya tentang lembaga investasi. Ini tentang masa depan bangsa. Tentang anak-anak kita yang suatu hari nanti akan bertanya: “Mengapa kalian dulu tidak memilih energi yang bersih? Mengapa tidak berinvestasi di masa depan?”
Semoga saat itu tiba, kita bisa menjawab dengan bangga: “Kami memulainya dengan Danantara.”
Penulis: Muhammad Muchlas Rowi, Dosen S3 Ilmu Hukum universitas Botobudur dan Komisaris independen PT Jamkrindo
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait:
Advertisement