Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Indonesia Komitmen untuk Transisi Energi Hijau, Pakai Gaya Eropa atau Amerika?

        Indonesia Komitmen untuk Transisi Energi Hijau, Pakai Gaya Eropa atau Amerika? Kredit Foto: PGN
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pada tahun 2025, Indonesia ditargetkan akan memiliki Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional. Kebijakan ini merupakan komitmen Indonesia untuk mengurangi tingkat emisi hingga 29% pada tahun 2030. Dengan demikian, target transisi energi ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil sehingga dapat mengimplementasikan sistem energi yang bersih dan berkelanjutan.

        Namun, kondisi pandemi Covid-19 yang melumpuhkan sistem perekonomian global serta Perang Rusia-Ukraina pada awal tahun 2022 lalu kemudian membuat langkah transisi energi menjadi terhambat. Pasalnya, permintaan energi secara global menurun karena isolasi dan lockdown yang diterapkan.

        Menanggapi hal tersebut, Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk serta mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, mengatakan ada dua kutub yang Indonesia bisa tiru dalam proses transisi energi, yaitu kutub Eropa dan Amerika.

        Baca Juga: RI Ajak Negara ASEAN Gaungkan Energi Terbarukan

        Ia menjelaskan bahwa dalam kutub Eropa, perusahaan-perusahaan minyak dan gas akan sepenuhnya mengalihkan usaha mereka dari energi fosil ke energi terbarukan.

        “Ada dua kubu besar di dunia dalam melihat strategi transisi ini, yaitu kutub Eropa dan Amerika. Salah satu yang membedakan adalah kutub Eropa, perusahaan-perusahaan energi mereka itu mengatakan bahwa mereka akan beralih dari energi yang sekarang ke yang renewable (terbarukan), bukan ke diversifikasi usaha. Mereka berbondong-bondong mengalihkan bisnis mereka ke energi terbarukan,” kata Arcandra, dikutip dari kanal Youtube Bisnis.com pada Sabtu (27/05/23).

        Sementara itu, berbeda dengan kutub Eropa, perusahaan-perusahaan minyak dan gas di kutub Amerika memandang proses transisi energi sebagai diversifikasi usaha. Artinya, mereka tetap akan mengolah energi fosil dan energi terbarukan di saat yang bersamaan. Hal ini yang membuat Amerika Serikat untung besar saat negara-negara Eropa mengembargo komoditas energi dari Rusia.

        “Eropa mau secepat mungkin beralih ke renewable energy. Kalau Amerika, mereka tetap berbisnis dengan gas. Kalau ada dampaknya kepada lingkungan, mereka akan coba kurangi, namanya dekarbonisasi. Tahun 2022 kita menjadi saksi krisis di Eropa dan tidak krisis di Amerika,” katanya.

        Baca Juga: Menteri Bahlil: Arab Saudi Siap Investasi Rumah Sakit dan Energi Terbarukan di Indonesia

        “Harus cerdas melihat komoditas migas ini, bisa enggak dia menjadi senjata. Kita lihat sendiri negara yang mengembargo jadi collapse (runtuh). Untuk itu, mungkin strategi mana yang kita pakai, apakah mengikuti kutub Amerika atau kutub Eropa,” sambungnya.

        Namun, terlepas dari dua kutub tersebut, Arcandra Tahar mengatakan bahwa proses transisi energi sejatinya harus didasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) di Indonesia itu sendiri. Pemilihan energi terbarukan harus disesuaikan dengan komoditas apa yang paling sesuai dengan Indonesia

        “Menurut hemat saya, yang namanya transisi energi itu lebih kepada local wisdom (kearifan lokal). Eropa dia mati-matian dengan energi angin karena memang anginnya kencang di sana, coba aja ke Belanda, Norwegia, Denmark, dan lain-lain. Di Timur Tengah, Solar PV itu murah sekali karena (letaknya) di gurun. Sekarang di Indonesia, apa yang kita punya untuk energi terbarukan?” tanya dia.

        Baca Juga: Multi Bintang Indonesia Selangkah Lebih Dekat Mencapai 100 Persen Energi Terbarukan

        Ia lebih lanjut mengatakan bahwa pemerintah juga harus memikirkan daya beli masyarakat dalam hal transisi energi.

        “Kita harus mempertimbangkan juga, Eropa itu negara maju dan Amerika juga negara maju, sehingga kemampuan rakyatnya untuk membeli harga energi yang lebih mahal mungkin lebih dari kita. Kita harus membuat strategi sendiri berdasarkan apa yang kita punya,” katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Novri Ramadhan Rambe
        Editor: Yohanna Valerie Immanuella

        Bagikan Artikel: