Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Terkendala Regulasi Pemerintah dan Peremajaan Sawit, Apkasindo Suarakan Aspirasi Petani Sawit

        Terkendala Regulasi Pemerintah dan Peremajaan Sawit, Apkasindo Suarakan Aspirasi Petani Sawit Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua umum DPP Apkasindo, Gulat ME Manurung menyuarakan aspirasi petani sawit tentang petani sawit rakyat yang terkendala regulasi pemerintah terkait kawasan sawit, utamanya kawasan yang sebelumnya adalah hutan lindung, serta peremajaan sawit, yang mencakup harga tandan buah segar (TBS) hingga pendapatan petani.

        Di acara “Palm Oil Financing Forum: How Banks and Financial Institutions Support the Replanting Program” pada Selasa (30/5/2023), Gulat menceritakan fakta di lapangan.

        “Kenapa petani sawit itu seksi? Karena dia 42% dikelola oleh petani, tidak ada industri atau perusahaan yang sebesar itu dengan besarnya keterlibatan petani atau masyarakat. Goyang sedikit, maka akan terganggu,” ujar Gulat saat memaparkan perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.

        Baca Juga: Sekjen CPOPC: Optimalisasi Produksi Sawit Jadi Tantangan Bersama

        Gulat memaparkan soal tantangan dan hambatan perkebunan kelapa sawit rakyat, regulasi pemerintah terkait kawasan sawit—yang termasuk kawasan hutan lindung ketika terjadi transmigrasi dan pembukaan lahan sawit oleh masyarakat. Di periode 2011 sampai 2020, soal regulasi dan peremajaan sawit menjadi isu utama.

        “Kawasan hutan [lindung] menjadi momok yang paling menakutkan bagi petani sawit, fakta. Yang kedua adalah soal peremajaan sawit karena sudah terjadi semua, maka kami [lakukan] replanting baru tiga tipologi, […] tipologi yang dikerjakan sendiri, semi kemitraan atau full kemitraan seperti dengan Sinarmas di beberapa daerah. Tentu ini akan menjadi cerita baru bagi kami.” 

        Dalam pemaparannya, kebun sawit petani menjadi salah satu pendorong ketahanan ekonomi Indonesia, di samping meningkatkan produktivitas dengan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). 

        “Tidak ada cara lain, harus replanting,” ujarnya.

        Gulat memaparkan, produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai CPO yield 2,5 ton per hektare per tahun. Sementara produktivtas kebun sawit milik perusahaan swasta mencapai 5 ton per hektare per tahun dan perusahaan milik negara mencapai 4 ton per hektare per tahun. 

        Dari segi kepemilikan sawit, independent smallholder atau petani sawit rakyat mencapai 41% dengan nilai kepemilikan sebesar 5,8 juta hektare, lebih tinggi dibanding plasma smallholder yang dimiliki perusahaan swasta dan perusahaan milik negara sebesar 21%. Hal ini peluang strategis bagi petani untuk masuk ke sisi hilirisasi.

        Potensi ini muncul berkat Moratorium Inpres 8 tahun 2019. “Ini POTENSI bukan PERMASALAHAN,” tertera tulisan dalam pemaparannya tersebut.

        Meskipun begitu, sebagai komoditas unggulan di Indonesia yang juga menyokong pertumbuhan ekonomi saat pandemi COVID-19, harga TBS kian turun. Dalam pemaparannya, Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi penghasil TBS kelapa sawit, harga penetapan disbun-nya adalah Rp2.201 per kg. Namun, rerata harga dibeli PKS menurut data tanggal 27 Mei 2023, mencapai Rp2.105 (harga bermitra).

        Rerata harga dibeli PKS dihimpun dari 22 Mei sampai 27 Mei yang dikelompokkan atas dua harga, yakni harga petani swadaya dan harga petani bermitra, dengan rerata potongan timbangan di PKS di swadaya sebesar 7-12% dan bermitra sebesar 2-5% untuk Provinsi Kalimantan Barat.

        Dari segi biaya produksi, terdapat kenaikan sebesar 9,2% per tahun terakhir 14 tahun, sementara harga CPO naik 6,7% per tahun. “Biaya produksi naik terus, sementara harga [rata-rata] tidak pernah stabil,” ujar Gulat.

        Dari segi penghasilan, Gulat mengambil kasus di Provinsi Riau tahun 2022. Pendapatan per tahun hanya Rp6 juta dengan pendapatan per bulan sebesar Rp506 ribu, dan penjualan TBS adalah Rp36 juta dan total biaya HPP adalah Rp30 juta, menurut data dari pemaparan Gulat. 

        Perlu diketahui, Pemerintah Indonesia memiliki program PSR hingga tahun 2024. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hasil kebun petani kecil yang dapat meningkatkan taraf hidup petani.

        “Kita masih perlu bekerja keras untuk meningkatkan implementasi dan capaian PSR saat ini,” ujar Staf Khusus Menko Perekonomian Bidang Penguatan Kerja Sama Ekonomi Internasional sekaligus Sekretaris Jenderal CPOPC, Rizal Affandi Lukman.

        Dari sekitar 6,9 juta hektare kebun sawit rakyat, setidaknya terdapat 2,8 juta hektare sawit rakyat yang berpotensi diremajakan. Program ini memberi pembiayaan sebesar Rp30 juta per hektare untuk maksimal lahan seluas 4 hektare per pekebun.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nadia Khadijah Putri
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: