Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bandingkan dengan Skandal Watergate yang Gemparkan AS, Denny Indrayana Tegaskan Jokowi Layak Dimakzulkan

        Bandingkan dengan Skandal Watergate yang Gemparkan AS, Denny Indrayana Tegaskan Jokowi Layak Dimakzulkan Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Denny Indrayana kembali menegaskan usulannya untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terbaru, dia membandingkan kejadian di Indonesia yang disebutnya Moeldokogate dengan Watergate yang terjadi di Amerika Serikat.

        Skandal Watergate merupakan salah satu skandal politik terbesar di AS yang pecah pada tahun 1970-an. Tepatnya pada 8 Agustus 1974, Richard Nixon resmi mengundurkan diri dari jabatan Presiden AS demi menghindari pemakzulan atas tuduhan menghalangi penyidikan, menyalahgunakan kekuasaan, dan melecehkan Kongres AS.

        Baca Juga: Tim Koalisi Bantah Tudingan 'Anies Baswedan Presiden Maka Program Jokowi Dihentikan Semua': Nggak Mungkin!

        "Jika dibandingkan dengan Watergate di Amerika Serikat, seharusnya Moeldokogate lebih parah delik impeachment-nya. Persoalannya bukan DPR bisa atau tidak, tapi mau atau tidak. Koalisi bukan lagi kooperasi, tapi kolusi saling kunci atas masalah hukum," jelas mantan Wamenkumham itu, dikutip Selasa (13/6/2023).

        Setidaknya, ada tiga poin yang dia bandingkan antara kedua kasus tersebut. Pertama, soal keterlibatan presiden. Dalam kasus Watergate, Nixon terbukti terlibat dalam upaya penyadapan Partai Demokrat saat kampanye pilpres. Tujuannya, untuk mengganggu pencalonan dari Partai Demokrat.

        "Moeldokogate, ada upaya untuk mengambil alih Partai Demokrat, melalui tangan Kepala Staf Presiden, dan juga dilakukan menjelang kontestasi Pilpres 2024," ujarnya.

        Denny menuturkan, Presiden Jokowi jelas terlibat dalam upaya itu. Paling tidak, ujarnya, Jokowi membiarkan (by ommission) Moeldoko mengganggu daulat partai.

        Selanjutnya, dia menerangkan, di Indonesia juga terdapat upaya menghalangi penyidikan (obstruction of justice), yakni menutupi perkara kawan koalisi dan mengangkat perkara lawan oposisi. "Salah satu indikasinya adalah perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK melalui putusan MK," terang Denny.

        Poin ketiga yang dibandingkan adalah soal adanya proses penyelidikan. Di AS, penyelidikan parlemen dimulai dari laporan Washington Post melalui investigasi 2 orang wartawannya dengan bocoran informasi dari sumber anonim berjuluk "Deep Throat".

        Sementara, di Indonesia belum ada proses penyelidikan. Meski begitu, menurutnya, penyelidikan bisa dilakukan jika DPR mau menggunakan hak angketnya.

        "Dalam penyelidikan, diperlukan pembocor informasi (whistle blower) pula, untuk membongkar konspirasi yang terjadi," tegasnya.

        Baca Juga: Bongkar Alasan Dukung Anies, Denny Indrayana Jujur: Sejak Mahasiswa Saya Panggil Dia 'Mister President'

        Denny Indrayana menegaskan, pemakzulan di Indonesia seharusnya secara teori dapat dilakukan, tetapi secara politik tak mudah dijalankan.

        "Bukan karena Jokowi tidak melanggar delik pemakzulan, tetapi karena kekuatan koalisi di DPR tidak melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap pelanggaran impeachment yang nyata-nyata dilakukan Presiden Jokowi," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Puri Mei Setyaningrum
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: