Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Penghentian Operasi PLTU Batu Bara Bisa Hemat Biaya Subsidi & Kesehatan hingga US$96,1 Miliar

        Penghentian Operasi PLTU Batu Bara Bisa Hemat Biaya Subsidi & Kesehatan hingga US$96,1 Miliar Kredit Foto: PLN
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Institute for Essential Services Reform (IESR) menemukan sebanyak 2,9 Giga Watt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang direncanakan dibangun hingga 2030 dapat dibatalkan. 

        Hal tersebut berdasarkan laporan IESR bertajuk Delivering Power Sector Transition yang melihat data dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030 milik PLN.

        Peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR Akbar Bagaskara mengatakan, dari 13,8 GW pembangunan PLTU di dalam RUPTL, ada 2,9 GW yang dapat dibatalkan, 10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 20 MW dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa.

        Baca Juga: IESR ke Pemerintah: Pensiunkan 8,6 GW PLTU Batu Bara Sebelum 2030!

        "Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan," ujar Akbar dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (20/6/2023). 

        Akbar mengatakan, dari analisis yang dilakukan oleh IESR dalam laporan tersebut, pembatalan pembangunan PLTU batu bara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP. 

        "Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujarnya. 

        Peneliti Senior IESR, Raditya Wiranegara menambahkan, berdasarkan kajian IESR berjudul Financing Indonesia’s Coal Phase out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero, penghentian operasi PLTU batu bara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial, seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batu bara dan biaya kesehatan.

        Adapun masing-masing berjumlah US$34,8 miliar dan US$61,3 miliar—dua kali sampai empat kali lebih besar dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batu bara.

        “Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung sebagai pengganti dari PLTU batu bara yang dipensiunkan, sebesar US$1,2 triliun," ujar Raditya.

        Ia menilai dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. 

        "Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168.000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050," ucapnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: