Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat minyak dan gas (Migas) tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebutuhan Migas akan terus meningkat hingga 2050, dengan kebutuhan minyak bumi diproyeksikan naik sebesar 139 persen dan gas alam naik sebesar 298 persen.
Meskipun persentase porsi Migas dalam bauran energi turun, kebutuhan Migas secara volume diperkirakan tetap mengalami peningkatan. Untuk itu, produksi Migas harus ditingkatkan agar ketahanan energi nasional tetap terjaga.
Baca Juga: PGN Saka Kejar Peningkatan Produksi Migas di Blok Pangkah
“Berdasarkan tren transisi energi, pertumbuhan penggunaan gas akan lebih tinggi dibanding minyak karena gas relatif bersih dan bisa diterima dalam era transisi energi,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (14/7/2023).
Dwi mengatakan, peningkatan produksi Migas dari lapangan yang sudah ada perlu dibarengi pula dengan peningkatan kegiatan eksplorasi secara masif.
Langkah ini diperlukan agar produksi Migas tetap terjaga dan berkelanjutan seiring adanya penurunan produksi secara alamiah dari lapangan-lapangan tua. Saat ini, Indonesia masih memiliki cadangan Migas yang berpotensi untuk dieksplorasi dan dikembangkan.
Maka dari itu, unuk bisa mengoptimalkan potensi cadangan Migas yang ada, sektor hulu Migas Indonesia membutuhkan dukungan investasi berskala besar. Pemerintah berkomitmen mendorong investasi di sektor hulu Migas melalui pemberian insentif dan perbaikan skema kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC).
“Tahun ini, investasi di sektor hulu Migas ditargetkan mencapai US$15,54 miliar atau naik 26 persen dibanding pencapaian investasi tahun lalu. Jika dibandingkan rencana peningkatan investasi hulu Migas global yang naik 6,5%, maka menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi Indonesia melampaui rata-rata global,” ujarnya.
Selain untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan produksi Migas, kehadiran investor dibutuhkan guna mendukung pencapaian target Net Zero Emission (NZE) di 2060 melalui penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage/CCS) serta penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Utilization and Storage/CCUS) di industri hulu Migas.
Adapun implementasi teknologi CCS/CCUS bisa dilakukan dengan memanfaatkan cekungan-cekungan hidrokarbon yang sudah tidak lagi memiliki cadangan untuk diproduksikan (depleted reservoir) sebagai fasilitas penyimpanan karbon. Indonesia sendiri memiliki potensi kapasitas penyimpanan karbon yang terbilang besar.
Berdasarkan studi yang dilakukan Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi kapasitas penyimpanan karbon sekitar 2 giga ton CO2 pada depleted reservoir Migas yang tersebar di beberapa area serta sekitar 10 giga ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatra Basin.
Selain sebagai fasilitas penyimpanan karbon, depleted reservoir di Indonesia berpotensi untuk digunakan sebagai regional hub bagi negara-negara yang minim atau pun tidak memiliki fasilitas penyimpanan karbon.
Baca Juga: Dukung Target NZE 2060, PGN Saka Jalankan Sejumlah Program Dekarbonisasi
“Penggunaan teknologi CCS dan CCUS ini tentunya mensyaratkan investasi hulu Migas yang lebih tinggi, sehingga upaya untuk meningkatkan investasi ini sepatutnya menjadi prioritas seluruh pemangku kepentingan,” ujar Dwi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti