Pembangunan Rendah Karbon Bisa Bawa Indonesia Keluar dari Middle Income Trap
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pembangunan berkelanjutan yang minim emisi dipercaya akan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mendorong Pemerintah Indonesia untuk secara serius menetapkan target dan melakukan aksi penurunan emisi yang jelas dan terukur serta mencantumkan target tersebut pada Kontribusi Nasional yang Ditetapkan atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Pasalnya, berdasarkan data Climate Action Tracker (CAT), aksi global berdasarkan kebijakan saat ini akan menuju ke kenaikan suhu global sebanyak 2,7°C.
Baca Juga: Sertifikasi Keberlanjutan Kurangi Dampak Buruk Emisi Gas Rumah Kaca
"Target pengurangan emisi terbaru Indonesia dikategorikan sebagai critically insufficient, yang artinya amat jauh dari cukup untuk meredam pemanasan global. Terdapat kesenjangan antara kebijakan saat ini dengan tingkat emisi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris," ujar Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (11/8/2023).
Fabby menyebut, berdasarkan kebijakan dan aksi iklim Indonesia, emisi diperkirakan akan mencapai 111,4-132,0 GtCO2e per tahun pada 2030 atau tidak termasuk LULUCF, 351-415% di atas tingkat emisi 1990.
"Untuk kompatibel dengan Persetujuan Paris, maka emisi harus turun menjadi 0,56-0,86 GtCO2e per tahun pada 2030 atau tidak termasuk LULUCF," ucapnya.
Lanjutnya, ia melihat pemerintah perlu melihat NDC Indonesia, di mana terdapat dua sektor, yakni sektor transportasi dan industri yang masih belum menunjukkan aksi menuju pemenuhan target Net-Zero Emission (NZE), sementara sektor energi sudah punya strategi yang jelas untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Ini menunjukkan adanya kesenjangan aksi (gap of action) atau tidak ada strategi dan rencana yang transparan dan terukur. Hal ini dikhawatirkan akan membuat Indonesia gagal mencapai target Persetujuan Paris,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyinggung penyampaian sinyal yang berbeda dari pembuat kebijakan yang menyesuaikan prioritas masing-masing sektor terkait mitigasi krisis iklim. Hal ini membuat lambatnya pergerakan untuk mencapai target penurunan emisi selaras Persetujuan Paris.
“Tidak adanya strategi yang terukur menyebabkan perbedaan sinyal secara sektoral. Misalnya, alokasi anggaran untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tidak sesuai, pembuatan kebijakan sering tidak sejalan secara lintas sektoral, bahkan sektor transportasi belum ditargetkan tenggat waktu untuk mencapai puncak emisi. Aksi iklim perlu diintegrasikan ke dalam penyusunan RPJPN diikuti RPJMN,” ujarnya.
Baca Juga: Mantan Gubernur BI Ungkap Alasan Perekonomian RI Tak Maju: Sulit Keluar dari Middle Income Trap
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti