Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sertifikasi Keberlanjutan Kurangi Dampak Buruk Emisi Gas Rumah Kaca

Sertifikasi Keberlanjutan Kurangi Dampak Buruk Emisi Gas Rumah Kaca Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sudah bukan rahasia lagi, emisi gas rumah kaca menjadi masalah di hampir semua negara. Forum-forum internasional pun telah berkali-kali membahas hal ini.

Para pemimpin negara di dunia juga telah mengambil sejumlah kebijakan untuk mencegah emisi gas rumah kaca semakin buruk. Komitmen-komitmen untuk mengurangi dampak buruk gas rumah kaca juga telah ditandatangani.

Sejatinya, emisi gas rumah kaca (GRK) memang dibutuhkan oleh bumi. Utamanya untuk menjaga suhu bumi agar perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu besar. 

Baca Juga: Tarik Investor, Pemerintah Revisi UU IKN Kantongi Masukan Akademisi

Para ilmuwan yang mempelajari efek rumah kaca sejak tahun 1824. Salah satu ilmuwan, Joseph Fourier mengatakan, adanya gas-gas rumah kaca tersebut membuat iklim bumi layak huni.

Tanpa efek rumah kaca, diperkirakan suhu permukaan bumi akan berubah sekitar 60°F atau 15,6° C lebih dingin. 

Pemerhati lingkungan yang juga Ketua Umum Koalisi Perkotaan Jakarta, Ubaidillah menjelaskan efek rumah kaca adalah fenomena alam ketika gas-gas tertentu di atmosfer bumi terperangkap sehingga tidak melepasnya kembali ke angkasa. 

"Efek rumah kaca itu gas di atmosfer yang tidak ditangkap ke atas dan dipancarkan lagi ke bumi sehingga membentuk emisi yang cukup tinggi radiasinya. Itu penyebabnya ada dua zat emisi yang cukup signifikan, yaitu karbondioksida (CO2) dan Metana (CH4)," kata Ubaid saat dihubungi melalui saluran telepon, Selasa (1/8/2023). 

Ubaid menerangkan, karbondioksida dihasilkan dari emisi bahan bakar fosil seperti batubara dan gas bumi. Sedangkan gas metana bersumber dari pengelolaan limbah, pertanian dan peternakan, serta limbah sampah rumah tangga. 

Selain itu, efek rumah kaca juga terjadi karena aktivitas penggundulan hutan, minimnya penghijauan di perkotaan, serta industri yang turut menghasilkan gas karbon dari aktivitas industrinya. 

Dampak yang paling terasa adalah pemanasan global, termasuk peningkatan suhu bumi, perubahan iklim yang tidak menentu, kenaikan permukaan air laut, hingga gangguan ekosistem dan pemusnahan hayati. 

Apa yang disampaikan Ubaid sejalan dengan data yang dikeluarkan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Disebutkan bahwa sejak tahun 1990, sudah ada 420 juta hektar hutan yang musnah dengan alasan untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, hingga pembangunan infrastruktur. 

Indonesia sendiri masuk dalam negara-negara yang penyumbang penggundulan hutan paling parah bersama Brasil, dan Republik Kongo Demokratik.

Ubaid menambahkan, terjadi kerusakan lingkungan akibat dari efek rumah kaca ini. Ia pun menyebutkan beberapa kerusakan itu, seperti perubahan iklim yang berdampak pada musim hujan yang tidak menentu sehingga terjadi banjir dan kekeringan. 

Baca Juga: AS Sumbang Emisi Karbon Terbesar, Negara-negara Ini Terkena Dampaknya

Di Indonesia, terutama di pesisir pantai utara Jawa, turut menjadi korban kerusakan ini dengan terjadinya banjir air pasang laut (rob), seperti di Jakarta dan Semarang. 

Selain itu, imbuh Ubaid, pada tahun 2023 ini Indonesia masuk dalam daftar 10 besar kota dengan polusi udara terburuk, dan menjadi negara di Asia Tenggara dengan tingkat polusi udara paling buruk.

Pelaku Usaha

Mengatasi dampak buruk emisi GRK harus dilakukan secara masif oleh semua pihak. Selain action plan yang dilakukan secara besar-besaran, masyarakat dan pelaku usaha juga bisa mengurangi dampak buruk ini mulai dari hal-hal kecil.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ayu Almas

Advertisement

Bagikan Artikel: