Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Revolusi Hilirisasi: Mengapa Ekspor Bukan Hanya Soal Angka, Tapi Juga Manfaat Nyata?

        Revolusi Hilirisasi: Mengapa Ekspor Bukan Hanya Soal Angka, Tapi Juga Manfaat Nyata? Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Said Didu, pemerhati BUMN, memberikan paparan tentang Hilirisasi, Untungkan Siapa? dalam wawancara eksklusif di program Zoominari Kebijakan Publik yang diselenggarakan Narasi Institute pada Jumat (18/08/2023) yang dipandu oleh Achmad Nur Hidayat.

        Said Didu menyoroti konsep hilirisasi yang saat ini diterapkan tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional. Menurutnya, konsep ini lebih berfokus pada jumlah bahan baku yang diolah dan jumlah ekspor yang terjadi, tanpa memperhatikan manfaat nyata yang diterima oleh negara dan rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, nilai ekspor dan jumlah bahan baku yang diolah menjadi titik fokus, bukan sejauh mana hasil ekspor tersebut memberikan keuntungan bagi negara.

        Said Didu menjelaskan bahwa penekanan pada angka-angka seperti ekspor senilai Rp510 triliun hanya menciptakan citra positif tanpa mengungkapkan kepemilikan sebenarnya dan bagaimana manfaatnya dialirkan kepada bangsa Indonesia. Dalam perdebatan yang mencuat antara Faisal Basri dan Presiden, Said Didu menyatakan bahwa diskusi ini seolah-olah hanya berlangsung sebagai pencitraan politik semata, karena tidak mengupas esensi dari siapa yang sebenarnya mendapatkan manfaat dari angka tersebut.

        Said Didu menegaskan bahwa elemen-elemen seperti jumlah ekspor dan volume bahan baku yang diolah bukanlah tolok ukur yang tepat dalam mengevaluasi manfaat yang diterima oleh negara. Dia berpendapat, perdebatan tersebut tidak relevan karena tidak mempertimbangkan berapa nilai ekspor yang benar-benar dimiliki oleh Indonesia dan berapa yang dinikmati oleh rakyat, serta bagaimana pemerintah mampu mengalokasikan manfaat tersebut secara adil.

        Dengan menggarisbawahi pentingnya merumuskan basis yang sesuai dengan kepentingan nasional, Said Didu menyimpulkan, perdebatan antara Presiden dan Faisal Basri sejatinya tidak saling terhubung. Yang dibahas oleh Presiden adalah jumlah ekspor dan bahan baku yang diolah, sedangkan yang diangkat Faisal Basri adalah masuknya nilai nyata ke negara dan masyarakat.

        Dalam pandangan Said Didu, hanya mengutamakan angka-angka ekspor tidak cukup, sementara fokus pada manfaat yang diterima oleh negara dan rakyat merupakan hal yang lebih penting dalam konteks hilirisasi.

        Perdebatan Faisal Basri dan Presiden tentang Ekspor

        Dalam perdebatan yang dijelaskan Said Didu, terjadi konfrontasi pandangan antara Faisal Basri dan Presiden terkait isu ekspor dan hilirisasi. Menurutnya, perdebatan ini bukanlah substansial karena terfokus pada presentasi angka ekspor sebesar Rp510 triliun tanpa memberikan gambaran lebih lanjut tentang kepemilikan dan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia.

        Said Didu menjelaskan, Presiden menggunakan angka ekspor yang cukup besar sebagai bukti kesuksesan hilirisasi, tetapi angka tersebut tidak dijelaskan dengan detail mengenai bagaimana porsi manfaat yang masuk ke negara dan rakyat Indonesia. Pandangan Presiden terkesan hanya sebagai upaya pencitraan positif tanpa menggali lebih dalam tentang manfaat yang sebenarnya.

        Sementara itu, Faisal Basri mempertanyakan keuntungan nyata yang diperoleh oleh Indonesia dalam konteks hilirisasi. Dia mencermati, meskipun angka ekspor besar telah dicapai, sebagian besar manfaat ekspor justru dinikmati oleh China, yang diperkirakan mencapai lebih dari 90%. Hal ini menunjukkan bahwa fokus ekspor yang seolah-olah menguntungkan Indonesia, sebenarnya lebih menguntungkan China.

        “Itu rakyat harus memahami bahwa milik bangsa Indonesia itu hanya setelah sampai dengan masuknya tanah yang mengandung nikel or biji nikel ke smelter, nah setelah itu sudah milik China, jadi ekspor dari pabrik itu adalah mengekspor barang China, bukan barang Indonesia. Nah, itu yang harus dipahami, jadi tidak bisa dinyatakan bahwa ekspor nikel menguntungkan Indonesia, bukan ekspor barang Indonesia, itu ekspornya barang China,” ujar Said Didu, mengutip keterangan tertulis, Selasa (22/8/2023).

        Said Didu menilai perdebatan ini menunjukkan perbedaan pandangan yang mendasar antara Presiden yang mengedepankan pencapaian angka ekspor besar sebagai indikator kesuksesan hilirisasi dan Faisal Basri yang mengangkat isu pentingnya menganalisis manfaat ekonomi yang diperoleh negara dan rakyat dari proses hilirisasi ini.

        Dalam pandangan Said Didu, perdebatan ini menjadi menarik karena memperlihatkan bahwa fokus pada angka ekspor saja tidak memberikan gambaran yang utuh tentang dampak nyata hilirisasi terhadap perekonomian nasional. Terlepas dari perdebatan ini, ia berpendapat, penting bagi pemerintah untuk lebih transparan dalam menjelaskan bagaimana manfaat ekonomi yang diperoleh dari hilirisasi ini dialokasikan dan diapresiasi oleh masyarakat Indonesia.

        Hilirisasi Untungkan China

        Dalam wawancara tersebut, Said Didu mencermati pandangan yang menyatakan, kebijakan hilirisasi sebenarnya lebih menguntungkan China daripada Indonesia. Ia merinci pandangan Faisal Basri yang mengemukakan bahwa lebih dari 90% manfaat ekonomi dari proses hilirisasi nikel dinikmati oleh China. Said Didu mendukung pandangan ini dengan argumen-argumen yang lebih rinci.

        Dalam penjelasannya, Said Didu mengaitkan konsep hilirisasi dengan realitas bahwa sebagian besar proses hilirisasi yang terjadi di Indonesia hanya mencapai tahap setengah jadi, yaitu menghasilkan bahan setengah jadi yang kemudian diekspor. Ia menjelaskan, dalam proses ini, China, sebagai negara yang mampu memproses bahan setengah jadi menjadi produk akhir, mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada Indonesia.

        Said Didu menekankan bahwa ketika bahan setengah jadi ini diekspor ke China, sebagian besar manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proses hilirisasi ini sebenarnya dinikmati China karena mereka memiliki teknologi dan fasilitas untuk mengubahnya menjadi produk akhir dengan nilai tambah lebih tinggi.

        Dengan demikian, pandangan Said Didu menguatkan argumen Faisal Basri bahwa meskipun Indonesia mencatat angka ekspor yang besar dari proses hilirisasi, faktanya sebagian besar manfaat ekonomi justru mengalir ke China. Dia berpendapat, istilah yang digunakan oleh Presiden, seperti angka ekspor yang tinggi, hanya menjadi alat citra positif tanpa menggambarkan porsi manfaat yang sebenarnya masuk ke Indonesia.

        Pandangan ini menunjukkan bahwa dalam konteks hilirisasi, sangat penting untuk mempertimbangkan bukan hanya angka ekspor semata, tetapi juga sejauh mana negara dan rakyat mendapatkan manfaat nyata dari proses ini. Di samping itu, perlu adanya transparansi dalam menjelaskan bagaimana alokasi manfaat ekonomi yang dihasilkan dari hilirisasi ini diarahkan ke berbagai sektor di dalam negeri.

        Ketidakjelasan Peningkatan Pajak dan Ekspor

        Said Didu membahas ketidakjelasan yang terkait dengan peningkatan pajak dan ekspor yang disampaikan dalam debat mengenai hilirisasi. Ia mencatat, meskipun Presiden menyebut adanya peningkatan ekspor sebesar Rp510 triliun, tidak dijelaskan secara rinci sumber pendapatan pajak tersebut dan bagaimana alokasinya. Dengan demikian, ia mengkritik pemerintah hanya fokus pada angka-angka tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih mendalam.

        Said Didu mengungkapkan, peningkatan pajak yang diutarakan dalam debat tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai asal-usul pendapatan tersebut. Ia menunjukkan, angka peningkatan pajak hanya sekitar 10 kali lipat sejak 2018, sedangkan angka ekspor naik 30 kali lipat. Ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dan seberapa besar manfaat yang dinikmati oleh China dari peningkatan ekspor tersebut.

        Lebih lanjut, Said Didu menyatakan, perubahan dalam volume atau tonase yang diolah mungkin menjadi faktor yang memengaruhi kenaikan pajak tersebut. Namun, ia menyoroti bahwa yang penting adalah bagaimana pendapatan dari pajak ini digunakan untuk mendukung perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.

        Dalam pandangan Said Didu, fokus pada peningkatan ekspor dan peningkatan pajak tanpa menjelaskan sumber pendapatan yang jelas dan alokasi manfaat yang sesuai menjadi masalah. Hal ini menunjukkan seolah-olah hanya angka yang diutamakan, tanpa memberikan gambaran tentang manfaat nyata yang diperoleh negara dan rakyat.

        Pemahaman ini menegaskan bahwa dalam memahami dampak kebijakan ekonomi seperti hilirisasi, penting bagi pemerintah untuk memberikan transparansi mengenai angka-angka tersebut dan bagaimana mereka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

        Pemilik Tambang dan Royalti

        Said Didu juga mengangkat isu mengenai pemilik tambang dan pembayaran royalti dalam konteks kebijakan hilirisasi. Ia membahas bagaimana pemilik tambang dan sistem royalti berpengaruh terhadap manfaat yang diperoleh negara dan masyarakat, serta menyoroti peran penting pemilik tambang sebagai penggerak utama dalam pembayaran royalti.

        Dia menjelaskan, pemilik tambang, terutama pemilik tambang nikel, membayar royalti dan pajak kepada negara. Namun, ia menyatakan, kenyataannya, pemilik tambang bukanlah milik negara atau entitas yang sepenuhnya berbasis nasional. Beberapa pemilik tambang adalah perusahaan asing atau individu pengusaha nasional. Dalam hal ini, ia mengungkapkan, hal ini dapat menimbulkan kompleksitas dalam mengalokasikan manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proses hilirisasi.

        Selanjutnya, dia menyoroti royalti dihitung berdasarkan harga jual or kepada smelter atau ekspor. Dia menjelaskan, dalam hal ini, terdapat ketidaksetaraan dalam harga or dunia dan harga or dalam negeri yang digunakan sebagai dasar perhitungan royalti. Sebagai contoh, harga or dunia mungkin lebih tinggi daripada harga or dalam negeri, yang berarti pendapatan yang dihasilkan dari royalti bisa berkurang jika or diekspor dengan harga lebih rendah.

        Lebih lanjut, dia membahas, dalam kasus nikel, harga or dunia dapat mencapai US$80 dolar, tetapi dijual ke smelter China dengan harga yang lebih rendah, yaitu sekitar US$35 dolar. Hal ini menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan, mengingat perbedaan harga yang signifikan.

        Pemahaman ini menggambarkan kompleksitas sistem royalti dan pemilik tambang dalam konteks hilirisasi. Said Didu mengindikasikan bahwa ada kebutuhan untuk meninjau kembali kebijakan royalti dan pemilikan tambang agar dapat mendukung penerimaan negara dan manfaat ekonomi yang lebih baik, serta memastikan adanya transparansi dalam pembayaran royalti dan pendapatan tambang kepada negara.

        Kebingungan Mengenai Ekspor dan Pendapatan Negara

        Membahas ketidakjelasan yang muncul sehubungan dengan ekspor dan pendapatan negara yang terkait dengan kebijakan hilirisasi. Ia mencatat, fokus pada angka-angka ekspor seringkali mengaburkan pandangan yang lebih mendalam mengenai sejauh mana negara dan rakyat Indonesia mendapatkan manfaat ekonomi dari proses tersebut.

        Dia mengungkapkan, penekanan pada angka ekspor yang tinggi, seperti angka Rp510 triliun, tidak diikuti oleh penjelasan yang memadai tentang seberapa besar manfaat yang sebenarnya dinikmati oleh Indonesia. Ia merasa pemerintah seringkali hanya menunjukkan angka-angka ini tanpa menjelaskan bagaimana ekspor tersebut memberikan dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi, penerimaan negara, dan kesejahteraan rakyat.

        Dia pun menyatakan, hanya fokus pada angka ekspor tidak cukup untuk mengukur kesuksesan suatu kebijakan ekonomi seperti hilirisasi. Ia mempertanyakan apakah ekspor tersebut benar-benar menguntungkan Indonesia atau justru lebih menguntungkan pihak asing, seperti dalam kasus China yang mendapatkan banyak manfaat dari ekspor hasil hilirisasi.

        Selain itu, Said Didu menyuarakan keprihatinannya terhadap kurangnya penjelasan mengenai bagaimana pendapatan dari ekspor tersebut dialokasikan ke negara dan berbagai sektor yang membutuhkan. Ia berpendapat, tanpa transparansi mengenai alokasi pendapatan ini, sulit untuk mengukur dampak nyata dari ekspor terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.

        Pemahaman ini menegaskan bahwa dalam konteks hilirisasi, pemerintah perlu memberikan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif tentang bagaimana ekspor menguntungkan negara dan bagaimana manfaat ekonomi dari ekspor tersebut disalurkan kepada berbagai sektor masyarakat. Transparansi ini akan membantu menghilangkan ketidakjelasan dan memastikan kebijakan ekonomi benar-benar berdampak positif pada perekonomian dan masyarakat Indonesia.

        Ekspor sebagai Barang China, Bukan Indonesia

        Said Didu mengemukakan pandangannya mengenai karakteristik sebenarnya dari ekspor hasil hilirisasi, terutama dalam konteks ekspor nikel. Ia menyatakan, hasil ekspor dari pabrik-pabrik tersebut seharusnya dilihat sebagai ekspor barang buatan China, bukan sebagai ekspor barang Indonesia.

        Menurutnya, konsep hilirisasi yang diimplementasikan seringkali menghasilkan produk setengah jadi yang masih memerlukan proses pengolahan lebih lanjut. Hasil ekspor ini kemudian diolah lebih lanjut di China menjadi produk akhir dengan nilai tambah lebih tinggi. Oleh karena itu, saat barang setengah jadi ini diekspor, mereka sebenarnya menjadi ekspor barang buatan China karena manfaat ekonomi dari pengolahan dan pembuatan produk akhir sebagian besar diperoleh oleh China.

        Dia menyoroti, sebelum tahap pemrosesan di China, bahan baku tersebut dimiliki oleh Indonesia. Namun, setelah diekspor dan diolah di China, hasil ekspor tersebut menjadi barang buatan China, bukan lagi barang Indonesia. Ia menekankan pentingnya memahami perbedaan antara ekspor barang hasil pengolahan Indonesia dan ekspor barang buatan China, agar tidak terjebak dalam pandangan yang menyatakan bahwa ekspor nikel dan produk sejenisnya menguntungkan Indonesia.

        Dengan memahami hasil ekspor setengah jadi sebenarnya berubah menjadi produk akhir buatan China, pandangan Said Didu menggarisbawahi bahwa ekspor ini seharusnya dilihat sebagai ekspor barang buatan China dan bukan sebagai ekspor barang Indonesia. Dalam konteks hilirisasi, hal ini menegaskan perlunya peninjauan kembali terhadap strategi hilirisasi yang lebih menguntungkan Indonesia secara substansial dalam hal pendapatan dan nilai tambah.

        Kebijakan untuk Keuntungan China

        Said Didu menyampaikan pandangannya terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat diartikan sebagai menguntungkan China, terutama dalam konteks hilirisasi. Ia mengungkapkan kekhawatirannya tentang bagaimana beberapa kebijakan yang diterapkan tampaknya lebih menguntungkan China daripada Indonesia.

        Dengan mengacu pada perubahan peraturan-peraturan yang terjadi dalam rangka mendukung hilirisasi dan ekspor produk setengah jadi, ia mengamati beberapa perubahan dalam regulasi, seperti peraturan ketenagakerjaan dan perpajakan, tampaknya menguntungkan China dengan memberikan fasilitas dan keringanan pajak yang lebih besar kepada mereka.

        Contohnya adalah perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan yang memberikan fasilitas pajak kepada perusahaan yang berinvestasi di Indonesia. Said Didu mengamati perubahan ini memberikan kemudahan bagi perusahaan asing, termasuk China, untuk beroperasi dengan keuntungan yang lebih besar. Hal ini bisa diartikan sebagai upaya untuk menarik investasi asing, tetapi dalam beberapa kasus, mungkin berdampak pada pengabaian hak-hak buruh dan pengurangan pendapatan negara dari pajak.

        Selain itu, dia juga menyoroti bagaimana beberapa peraturan berpotensi mempermudah proses ekspor hasil hilirisasi ke China, yang pada akhirnya dapat menguntungkan China daripada Indonesia. Dia memberikan contoh bagaimana pengaturan mengenai smelter diubah untuk mendukung ekspor bahan setengah jadi, yang berarti manfaat ekonomi lebih besar diperoleh China saat mereka mengolah bahan tersebut menjadi produk akhir.

        Dalam pemahamannya, pandangan Said Didu menggambarkan adanya kebutuhan untuk mempertimbangkan dengan cermat dampak dan implikasi dari setiap kebijakan yang diambil, terutama yang berhubungan dengan hilirisasi. Ia mendorong pemerintah untuk lebih berfokus pada keuntungan yang diperoleh Indonesia dan rakyatnya daripada keuntungan pihak luar, serta memastikan adanya transparansi dalam perubahan peraturan yang mungkin dapat memberikan keuntungan yang signifikan kepada negara lain.

        Perbandingan Perlakuan terhadap Perusahaan Nikel

        Said Didu membahas perbandingan perlakuan terhadap perusahaan nikel yang ada di Indonesia, khususnya PT Aneka Tambang (Antam), dalam konteks kebijakan hilirisasi. Ia mengajukan pertanyaan mengapa perusahaan-perusahaan tersebut tidak diberikan fasilitas yang sama dengan China dalam proses hilirisasi.

        Dia menyoroti perusahaan nikel Indonesia, seperti Antam, seharusnya memiliki hak yang sama dalam mendapatkan fasilitas dan insentif yang diberikan kepada perusahaan asing, terutama China. Ia mempertanyakan mengapa perusahaan nikel Indonesia tidak mendapatkan perlakuan yang setara dengan China dalam hal fasilitas dan insentif yang mendukung hilirisasi.

        Dia pun menjelaskan, perusahaan nikel Indonesia, seperti Antam, telah ada sejak lama dan memiliki pengalaman dalam industri ini. Namun, ia mengamati tidak ada penjelasan yang memadai mengapa perusahaan-perusahaan ini tidak mendapatkan fasilitas dan perlakuan yang setara dengan perusahaan China dalam konteks hilirisasi.

        Lebih lanjut, Said Didu mencatat banyak perusahaan tambang di Indonesia, termasuk yang bergerak dalam ekspor nikel, berpindah tangan untuk menyuplai bahan baku ke China. Ia mengajukan pertanyaan penting mengenai mengapa perusahaan-perusahaan ini lebih memilih untuk menyuplai China daripada menjalankan proses pengolahan di Indonesia.

        Dalam pandangannya, perbandingan perlakuan terhadap perusahaan nikel Indonesia dan China menunjukkan pentingnya adanya kesetaraan dalam mendukung perusahaan nasional dalam menjalankan hilirisasi. Dia menggambarkan perlunya meninjau kembali kebijakan dan regulasi yang berlaku untuk memastikan perusahaan-perusahaan nasional tidak merasa terpinggirkan dan dapat mendapatkan manfaat yang setara dalam proses hilirisasi.

        Kehilangan Pendapatan Negara dan Royalti

        Said Didu membahas dampak dari kebijakan hilirisasi terhadap pendapatan negara dan royalti yang mungkin hilang atau berkurang akibat perubahan harga dan proses ekspor. Ia mengajukan pertanyaan kritis mengenai bagaimana kebijakan ini bisa berdampak pada hilangnya pendapatan negara yang seharusnya diperoleh.

        Dia menjelaskan, dalam situasi di mana harga komoditas seperti nikel memiliki perbedaan yang signifikan antara harga dunia dan harga dalam negeri, terdapat potensi kehilangan pendapatan negara yang besar. Ia memberi contoh, nikel yang dijual ke China dengan harga lebih rendah dari harga dunia akan mengakibatkan kehilangan pendapatan, terutama jika perbedaan harganya signifikan.

        Selanjutnya, dia membahas perhitungan royalti berdasarkan harga jual or kepada smelter atau ekspor. Ia mengingatkan, dalam kasus seperti nikel, yang diekspor dalam bentuk bahan setengah jadi, perhitungan royalti harus mempertimbangkan kenyataan bahwa nilai tambah dan manfaat ekonomi yang lebih besar diperoleh oleh China dalam proses produksi akhir.

        Ia menyoroti bagaimana peningkatan nilai tambah dan manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh ekspor bahan setengah jadi sebenarnya lebih besar daripada yang diperoleh Indonesia. Ini mengakibatkan kerugian dalam hal pendapatan negara dan royalti karena sebagian besar manfaat ekonomi dari proses produksi dan peningkatan nilai tambah tidak diperoleh Indonesia.

        Dalam pemahaman Said Didu, hal ini mencerminkan kebutuhan untuk memastikan perhitungan royalti dan pendapatan negara harus sesuai dengan manfaat ekonomi sebenarnya yang diperoleh oleh Indonesia. Ia menyuarakan keprihatinan terhadap potensi kehilangan pendapatan negara yang mungkin tidak sejalan dengan tujuan hilirisasi, dan mengajukan pertanyaan penting mengenai bagaimana pendapatan ini seharusnya dialokasikan agar lebih menguntungkan bagi Indonesia.

        Kontroversi terkait Kepentingan Pemerintahan Jokowi

        Said Didu membicarakan kontroversi yang muncul seputar dugaan adanya kepentingan tertentu dalam kebijakan ekonomi, terutama terkait dengan pemerintahan Jokowi. Ia mengungkapkan pandangannya tentang bagaimana beberapa proyek dan kebijakan, seperti hilirisasi dan Ibu Kota Negara (IKN), dapat dilihat sebagai kontroversial karena adanya dugaan kepentingan yang terlibat.

        Said Didu mengangkat isu bahwa beberapa kebijakan ekonomi, seperti proyek hilirisasi dan IKN, tampaknya menjadi prioritas utama pemerintahan Jokowi. Ia merasa ini menimbulkan pertanyaan mengapa proyek-proyek ini menjadi begitu penting bagi pemerintahan tersebut, apakah ada kepentingan khusus yang terlibat, dan apakah proyek-proyek ini memberikan manfaat yang substansial bagi Indonesia.

        Ia mencatat proyek-proyek ini menjadi bahan kontroversi karena dugaan adanya pengaruh pribadi atau kepentingan tertentu yang mungkin terlibat dalam pemilihan proyek dan kebijakan ekonomi. Said Didu tidak hanya membicarakan proyek hilirisasi, tetapi juga proyek lain seperti IKN yang ia sebutkan sebagai salah satu dari tiga proyek yang dititipkan pada masa pemerintahan Jokowi.

        Dalam pandangannya, ia mendorong perlunya transparansi dalam menjalankan proyek-proyek tersebut. Ia menyuarakan keprihatinannya tentang bagaimana dugaan kepentingan tertentu dapat mempengaruhi kebijakan dan keputusan ekonomi, dan menekankan pentingnya memastikan kebijakan ekonomi dan proyek-proyek yang diambil sebenarnya mendukung kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

        Dengan mengemukakan pandangan ini, ia menggambarkan adanya kebutuhan untuk memastikan kebijakan ekonomi dan proyek-proyek yang diambil oleh pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan nasional. Pandangannya menggarisbawahi pentingnya menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih transparan dan berlandaskan pada manfaat nyata bagi rakyat dan negara Indonesia.

        Kritik terhadap Program Hilirisasi Timah

        Said Didu pun mengemukakan kritiknya terhadap program hilirisasi yang berkaitan dengan tambang timah. Ia memberikan pandangannya tentang bagaimana program hilirisasi ini menghadirkan potensi kerugian jangka panjang bagi Indonesia, terutama terkait dengan cadangan tambang timah yang semakin menipis.

        Ia memulai dengan mengingatkan bahwa cadangan tambang timah Indonesia hanya terbatas pada jumlah tertentu, yakni sekitar 21 juta ton. Ia menyoroti cadangan tersebut akan habis dalam waktu 10-12 tahun jika tidak diambil tindakan tegas. Dalam konteks ini, ia menyatakan kekhawatirannya bahwa program hilirisasi yang berfokus pada ekspor bahan setengah jadi akan mengakibatkan kehilangan cadangan tersebut lebih cepat.

        Said Didu menyuarakan keprihatinannya bahwa program hilirisasi timah, yang memungkinkan ekspor bahan setengah jadi ke luar negeri, dapat menghabiskan cadangan tambang timah dengan lebih cepat. Ia menegaskan hal ini berpotensi mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi Indonesia karena cadangan yang terbatas akan habis tanpa memberikan manfaat maksimal dalam jangka panjang.

        Selanjutnya, ia memberikan contoh perusahaan tambang besar seperti Freeport yang sebelumnya memberikan kontribusi besar bagi pendapatan negara dari ekspor tembaga dan emas. Namun, ia menyoroti perusahaan ini kemudian berganti kepemilikan dan memiliki persentase pendapatan yang lebih kecil yang masuk ke negara. Analoginya adalah cadangan tambang timah yang habis dengan cepat juga dapat menghasilkan kerugian serupa dalam hal pendapatan negara dan manfaat jangka panjang.

        Dia memberikan perspektif kritis tentang dampak program hilirisasi terhadap cadangan tambang timah dan perekonomian jangka panjang. Ia menggambarkan kebutuhan untuk mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari kebijakan ekonomi, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang terbatas. Kritik ini mengajukan pertanyaan penting mengenai bagaimana pemerintah dapat mengelola cadangan tambang secara berkelanjutan dan memastikan manfaat yang lebih optimal bagi negara dan rakyat Indonesia.

        Tantangan terhadap Keterangan Angka Presiden

        Said Didu mengajukan tantangan terhadap keterangan angka yang diungkapkan oleh Presiden terkait dengan ekspor dan pendapatan dari program hilirisasi. Ia menyampaikan keraguan dan kekhawatirannya terkait dengan keterangan angka tersebut, yang dianggapnya belum dapat diuraikan secara rinci untuk memahami sejauh mana manfaat ekonomi sebenarnya bagi negara dan rakyat Indonesia.

        Ia menjelaskan, dalam kasus tertentu, seperti ketika Presiden mengumumkan nilai ekspor sebesar Rp510 triliun, keterangan tersebut perlu lebih ditelusuri. Ia mempertanyakan siapa yang sebenarnya memiliki dan menikmati nilai ekspor tersebut, dan apakah angka tersebut benar-benar menggambarkan manfaat ekonomi yang diperoleh oleh bangsa Indonesia.

        Dia juga menyoroti perbedaan antara angka ekspor yang diumumkan dan manfaat yang sebenarnya diperoleh Indonesia. Ia mengamati fokus pada kenaikan volume ekspor sering kali mengesampingkan pertanyaan yang lebih penting mengenai berapa persentase ekspor tersebut yang benar-benar masuk ke negara sebagai pendapatan, berapa yang menjadi pajak, royalti, dan manfaat ekonomi lainnya.

        Lebih lanjut, ia mengemukakan, keterangan angka-angka semacam itu hanya menggambarkan satu sisi dari cerita. Ia mendorong agar pemerintah juga menguraikan detail mengenai bagaimana ekspor tersebut berkontribusi pada pendapatan negara dan masyarakat, serta bagaimana manfaat ekonomi sebenarnya diperoleh Indonesia.

        Pandangan Said Didu menekankan transparansi dan kejelasan dalam melaporkan angka ekspor dan pendapatan negara. Tantangan yang diajukan olehnya mengajak untuk lebih mendalam dalam menganalisis manfaat ekonomi yang sebenarnya diperoleh dari program hilirisasi dan bagaimana hal tersebut berkontribusi pada kesejahteraan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

        Kerugian Negara dalam Kebijakan Hilirisasi

        Said Didu menguraikan bagaimana program hilirisasi, terutama jika tidak dijalankan dengan tepat, dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi Indonesia.

        Ia mencatat dalam beberapa kasus, kebijakan hilirisasi dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar kepada negara-negara tujuan ekspor, seperti China, daripada kepada Indonesia. Ia menyoroti ekspor bahan setengah jadi, yang kemudian diolah menjadi produk akhir, dapat memberikan keuntungan lebih besar kepada negara-negara penerima daripada kepada negara pemilik bahan mentah.

        Selain itu, dia juga mengemukakan pengolahan bahan setengah jadi menjadi produk akhir dapat menghasilkan nilai tambah yang signifikan, yang sering kali tidak dinikmati oleh Indonesia. Ia menjelaskan, nilai tambah dan manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proses ini terkadang jauh lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh dari ekspor bahan mentah.

        Ia juga menyoroti potensi hilangnya royalti dan pendapatan negara yang mungkin tidak sejalan dengan manfaat ekonomi sebenarnya dari ekspor bahan setengah jadi. Perhitungan royalti yang didasarkan pada harga jual or kepada smelter atau ekspor tidak selalu mencerminkan manfaat ekonomi penuh yang diperoleh negara.

        Said Didu menggambarkan bagaimana kerugian ekonomi dapat timbul akibat kebijakan hilirisasi yang tidak memastikan nilai tambah dan manfaat ekonomi sebenarnya diperoleh Indonesia. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan manfaat jangka panjang bagi negara dan rakyat serta menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih transparan dan berorientasi pada keuntungan yang sebenarnya.

        Pertimbangan Jangka Panjang

        Dia pun menekankan pentingnya melakukan pertimbangan jangka panjang dalam menjalankan kebijakan ekonomi, terutama dalam hal pengelolaan SDA dan proyek-proyek ekonomi. Ia mengemukakan pandangannya tentang bagaimana kebijakan ekonomi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap negara dan rakyat Indonesia.

        Ia mengingatkan kebijakan ekonomi, seperti program hilirisasi, tidak hanya harus mempertimbangkan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi juga manfaat jangka panjang. Ia menunjukkan contoh kasus cadangan tambang timah yang terbatas dan akan habis dalam beberapa tahun ke depan. Dalam konteks ini, ia menggarisbawahi pentingnya menjalankan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan untuk melindungi dan memaksimalkan manfaat dari SDA yang terbatas.

        Said Didu juga membahas dampak jangka panjang dari hilangnya nilai tambah dan manfaat ekonomi akibat ekspor bahan setengah jadi. Ia mengajukan pertanyaan mengenai apakah ekspor semacam ini benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi Indonesia dalam jangka panjang, terutama jika manfaat tersebut lebih besar diperoleh negara-negara tujuan ekspor.

        Lebih lanjut, ia menggambarkan bagaimana program hilirisasi yang tidak mempertimbangkan manfaat jangka panjang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki di masa depan. Dengan mengambil contoh hilangnya cadangan tambang timah dan potensi kerugian dari ekspor bahan setengah jadi, ia mengajak untuk lebih bijaksana dalam mengambil keputusan ekonomi yang dapat membawa manfaat jangka panjang bagi Indonesia.

        Ia menggarisbawahi perlunya mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ekonomi, terutama dalam hal pengelolaan SDA dan pengambilan keputusan terkait proyek-proyek ekonomi. Ia mengajak untuk lebih memprioritaskan manfaat jangka panjang bagi negara dan rakyat serta memastikan kebijakan ekonomi yang diambil sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan nasional dalam jangka panjang.

        Baca Juga: Menghadapi Tantangan Mobil Listrik: Antara Energi Bersih, Geopolitik, dan Kesejahteraan Nasional

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: