Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menghadapi Tantangan Mobil Listrik: Antara Energi Bersih, Geopolitik, dan Kesejahteraan Nasional

Menghadapi Tantangan Mobil Listrik: Antara Energi Bersih, Geopolitik, dan Kesejahteraan Nasional Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Prof Didin S Damanhuri, Guru Besar IPB & Universitas Paramadina, memberikan paparan tentang Hilirisasi, Untungkan Siapa? dalam wawancara eksklusif di program Zoominari Kebijakan Publik yang dihelat Narasi Institute, Jumat (18/8/2023) lalu, yang dipandu oleh Achmad Nur Hidayat.

Dalam menghadapi tantangan global terkait energi dan lingkungan, Indonesia terlibat dalam perdebatan mengenai proyeksi masa depan energi dan dampaknya terhadap geopolitik. 

Dia mengungkapkan kompleksitas isu ini dengan mengaitkan upaya transisi dari energi kotor ke bersih, khususnya melalui mobil listrik, dengan rivalitas antara China dan Amerika Serikat dalam perspektif geopolitik.

Baca Juga: Masih Jauh Panggang dari Api, Indonesia Hadapi Dampak Negatif dan Tantangan dalam Hilirisasi Nikel

Pakar tersebut menjelaskan bahwa proyeksi masa depan dunia melibatkan pengurangan emisi karbon dengan menggantikan energi kotor dengan energi bersih. Proses ini diperkuat dengan keberadaan mobil listrik yang diharapkan dapat mengurangi karbon dioksida dan dampak perubahan iklim.

Namun, upaya ini belum sepenuhnya diadopsi secara global, hanya beberapa negara seperti AS, Jepang, Korea Selatan, Eropa, dan China yang menjadi pionir dalam perkembangan mobil listrik.

Persaingan global dalam merebut peran strategis mobil listrik, yang dipandang sebagai komoditas masa depan, juga berdampak pada Indonesia. Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia memiliki potensi besar dalam industri baterai mobil listrik.

“Sebagai sebuah komoditas strategis masa depan yang nanti kan kita tahu energinya dari baterai. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, cuman berupa material. Nah, pada saat yang sama terjadi dunia ini digunakan oleh sebuah konflik geopolitik dan geostrategi kualitas antara Amerika dan China, apalagi China sudah hampir menyalip kekuatan ekonomi Amerika,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (22/8/2023).

Dalam konteks rivalitas antara China dan AS, Indonesia memiliki posisi geopolitik yang menarik bagi keduanya. Posisi Indonesia yang dekat dengan China dan sebagai bagian dari poros geopolitik China-Indonesia memengaruhi kemungkinan dominasi China dalam industri mobil listrik.

“Indonesia sudah menjadi tempat yang memang dimenangkanlah oleh China di dalam rivalitas dengan Amerika, bahkan Elon Musk juga membutuhkan bahan baku lithium dan nikel harus bernegosiasi ke Beijing, walaupun sebenarnya tambangnya ada di Indonesia,” imbuhnya.

Peran Kunci China dalam Industri Mobil Listrik

China telah memainkan peran kunci dalam mengubah lanskap industri mobil listrik secara global. Sebagai salah satu produsen mobil listrik terbesar di dunia, China telah melakukan investasi besar-besaran dalam riset, pengembangan, dan produksi mobil listrik serta baterainya.

Pemerintah China telah memberikan dukungan substansial dalam bentuk insentif fiskal, kebijakan regulasi yang mendukung, dan infrastruktur pengisian baterai yang luas. Semua ini telah mendorong pertumbuhan pasar mobil listrik yang signifikan di negara tersebut.

Dalam konteks hubungannya dengan Indonesia, dominasi China dalam industri mobil listrik memiliki implikasi penting terkait dengan nikel sebagai bahan baku baterai. China, sebagai produsen baterai terbesar di dunia, memiliki akses lebih besar terhadap pasokan nikel dan logam lain yang digunakan dalam pembuatan baterai.

Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia sejauh ini lebih cenderung menjadi penyedia bahan mentah daripada mengambil bagian dalam rantai pasok dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Kehadiran China dalam perjanjian kemitraan strategis dengan Indonesia dan kepemilikan sejumlah smelter nikel di Indonesia menunjukkan peran dominan China dalam industri ini.

Didin mengatakan bahwa, “Indonesia sudah menjadi tempat yang memang dimenangkanlah oleh China di dalam rivalitas dengan Amerika, bahkan Elon Musk juga membutuhkan bahan baku lithium dan nikel harus bernegosiasi ke Beijing, walaupun sebenarnya tambangnya ada di Indonesia. Itu satu bukti bahwa memang pertambangan ini sudah dikuasai China, jadi ini memperkuat apa yang disampaikan oleh Pak Faisal Basri.”

Kendati demikian, perlu dipertimbangkan bagaimana Indonesia dapat mengambil manfaat lebih besar dari hubungannya dengan China dalam industri mobil listrik. Hal ini dapat mencakup kolaborasi dalam pengembangan teknologi baterai, peningkatan nilai tambah dalam rantai pasok nikel, dan pengembangan kebijakan yang mendukung transformasi industri nikel menjadi industri dengan nilai tambah lebih tinggi. Dengan demikian, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam (SDA)-nya dan mengambil peran yang lebih proaktif dalam perkembangan industri mobil listrik global.

Dampak Rivalitas AS-China dan Perlunya Kewaspadaan

Rivalitas ekonomi dan geopolitik antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok memiliki implikasi signifikan terhadap dinamika hilirisasi nikel di Indonesia. China, sebagai negara yang semakin mendominasi pasar global, memiliki kepentingan strategis dalam mengamankan pasokan nikel sebagai bahan baku untuk industri mobil listrik yang sedang berkembang pesat.

Keberadaan nikel sebagai bahan utama baterai mobil listrik menjadikan Indonesia dengan cadangan nikel terbesar di dunia menjadi potensi target yang menarik bagi China. Kedekatan geografis Indonesia dengan China menjadi nilai tambah bagi China dalam mengakses pasokan nikel tersebut.

Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk menjaga kewaspadaan terhadap dampak dari rivalitas AS-China. Perjanjian kemitraan dan hubungan yang semakin erat antara Indonesia dan China dalam dekade terakhir perlu dilihat dengan cermat, terutama dalam konteks hilirisasi nikel dan industri mobil listrik.

Meskipun kemitraan dapat membawa manfaat ekonomi, Indonesia juga perlu memastikan bahwa kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat tidak terabaikan. Dengan mengambil langkah-langkah yang cermat dan berdasarkan analisis yang mendalam, Indonesia dapat menghindari potensi kerugian dalam dinamika geopolitik global yang dapat mempengaruhi perekonomian dan kedaulatan negara.

Dalam hal ini, Didin mengatakan, “jadi sekarang, baik sekarang ini dalam rangka nikel maupun sebelumnya Migas selalu menjadi korban dari rivalitas yang sekarang kuasai oleh China, tapi sebelumnya pernah dikuasai untuk Migas oleh Amerika. Jadi, sebenarnya saya kira sumber masalah yang utama Karena sistem politik kita yang sangat rapuh dan butuh pembiayaan besar yang umumnya mengandalkan perburuan rente di dalam eksplorasi SDA.”

Penguasaan China dalam Pertambangan Nikel dan Hilirisasinya Tak Untungkan Indonesia

Pengaruh dominan China dalam pertambangan nikel Indonesia dan pelaksanaan hilirisasi yang terkait dengannya sebenarnya tidak memberikan banyak manfaat bagi Indonesia dan rakyatnya. Meskipun Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, penguasaan China atas sebagian besar rantai pasok nikel telah mengakibatkan manfaat ekonomi yang seharusnya diterima oleh Indonesia lebih banyak mengalir ke China.

Keterlibatan China dalam pertambangan nikel dan hilirisasinya telah menyebabkan Indonesia lebih berperan sebagai pemasok bahan baku mentah daripada sebagai pelaku dalam proses industri yang lebih bernilai tambah.

Kelemahan utama terletak pada kurangnya persiapan dalam membangun struktur industri yang lebih komprehensif dan bernilai tambah di dalam negeri. Sebagai akibatnya, ekspor ilegal dan ekspor langsung ke China terjadi, yang menguntungkan China lebih dari Indonesia.

Pekerjaan yang dihasilkan oleh industri nikel ini cenderung menguntungkan tenaga kerja asing dari China daripada tenaga kerja lokal Indonesia. Bahkan dalam hal teknologi dan manajemen, keahlian dari luar negeri lebih dihargai daripada yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, kendati Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen nikel terbesar, pengaruh China dalam industri ini sejauh ini belum membawa manfaat signifikan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan perlunya refleksi mendalam dalam menghadapi kerja sama ekonomi internasional, sehingga hasil yang dihasilkan dari SDA yang berlimpah dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia secara lebih merata dan adil.

Positioning Indonesia dalam Hilirisasi

Didin menyatakan bahwa Indonesia harus mengambil posisi yang lebih serius dalam hilirisasi yang menguntungkan rakyat.

“Padahal Indonesia butuh sekali sebuah positioning yang lebih serius di dalam hilirisasi yang sudah benar, tetapi hilirisasi yang menguntungkan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya. Plus reindustrialisasi yang belum disentuh karena reindustrialisasi, di mana saham industri manufaktur menurun sekitar 18% yang tadinya hampir 30%, itu belum bisa dijawab, jadi jauh panggang daripada api,” ujarnya.

Dampak Negatif dan Tantangan dalam Hilirisasi Nikel

Proses hilirisasi nikel di Indonesia tidak terlepas dari dampak negatif dan tantangan yang perlu diatasi. Salah satu dampaknya adalah ketidakmampuan Indonesia dalam mengoptimalkan nilai tambah dari bahan baku nikel menjadi produk-produk jadi yang lebih bernilai tinggi.

Sebagian besar nikel diekspor dalam bentuk bahan mentah, yang mengakibatkan Indonesia kehilangan peluang untuk menghasilkan produk bernilai tinggi dan meningkatkan pendapatan dari ekspor. Hal ini tercermin dalam keterbatasan infrastruktur, kurangnya fasilitas pengolahan, dan rendahnya tingkat keahlian dalam industri hilirisasi.

Tantangan lainnya adalah dominasi China dalam rantai pasok nikel. Meskipun Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, sebagian besar manfaat dari proses hilirisasi justru dinikmati oleh China.

Penguasaan China atas smelter dan keahlian dalam pengolahan nikel berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak berasal dari China daripada lokal, mengabaikan potensi pembangunan ekonomi lokal dan peningkatan keterampilan tenaga kerja Indonesia.

Dampak negatif ini juga mengindikasikan perlunya perhatian serius terhadap upaya hilirisasi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Upaya ini harus mencakup investasi dalam pembangunan infrastruktur, peningkatan kapasitas teknologi, pengembangan tenaga kerja lokal, dan regulasi yang mendukung transformasi nilai tambah dalam industri nikel. Dengan mengatasi tantangan ini, Indonesia dapat memaksimalkan potensi sumber daya alamnya dan mewujudkan manfaat ekonomi yang lebih merata bagi rakyat Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: