Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dunia di Ambang Krisis Geopolitik: Sebuah Refleksi dari KTT BRICS di Afrika Selatan

        Dunia di Ambang Krisis Geopolitik: Sebuah Refleksi dari KTT BRICS di Afrika Selatan Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ Achmad Nur Hidayat menyebut, dalam era globalisasi saat ini, dunia menyaksikan pergeseran kekuatan geopolitik yang signifikan. BRICS, yang awalnya merupakan aliansi lima negara--Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan--kini telah berkembang menjadi kekuatan geopolitik yang menantang dominasi Barat.

        BRICS semakin menegaskan posisinya di panggung dunia dengan kehadiran 40 negara lain yang menunjukkan ketertarikannya menjadi bagian dari aliansi ini.

        Menurut Achmad, pada KTT ke-15 BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, dinamika baru ini menjadi semakin jelas. Dari 40 negara yang menunjukkan ketertarikannya, 22 di antaranya secara formal mengajukan diri untuk bergabung.

        Baca Juga: Jadi Ketua Forum ASEAN, Indonesia Fokus Tiga Hal pada Sektor Energi

        "Indonesia, meskipun hadir sebagai tamu undangan dalam kapasitasnya sebagai ketua ASEAN, menunjukkan potensi untuk bergabung di masa depan, sesuatu yang ditegaskan oleh pertimbangan Presiden Jokowi," ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Kamis (24/8/2023).

        Namun, lanjutnya, ada sesuatu yang mendorong negara-negara ini bergabung dengan BRICS. Sesuatu itu terletak pada tuntutan keseimbangan yang lebih adil dalam sistem keuangan dan perdagangan internasional.

        Sejarah modern sistem keuangan internasional, yang bermula dari Konferensi Bretton Woods pada 1944, telah menciptakan dominasi Barat, khususnya dolar AS. Namun, dominasi ini mulai goyang, terutama setelah keputusan Presiden Nixon pada 1971 yang mengungkap kelemahannya.

        Ketidakpuasan terhadap dominasi Barat ini bukan sekadar retorika. Rusia, sebagai salah satu anggota BRICS, telah menunjukkan ketidakpuasannya melalui aksi-aksi seperti aneksasi Krimea dan intervensi di Ukraina.

        "Ini adalah bukti nyata dari ketegangan geopolitik yang meningkat dan tatanan dunia pasca-perang yang kini menghadapi ujian," beber CEO Narasi Institute ini.

        Bangun Tatanan Multipolar Tanpa Dominasi Kekuatan Dunia

        Dalam menghadapi realitas baru ini, Achmad menyebut dunia harus mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif. Mengakui dan memahami sejarah adalah langkah awal.

        "Hanya dengan memahami keputusan dan kebijakan masa lalu, kita dapat merumuskan solusi yang lebih adil dan berkeadilan untuk masa depan," jelasnya.

        Diplomasi, dalam konteks ini, harus menjadi prioritas. Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, dialog terbuka, negosiasi, dan kerja sama multilateral menjadi kunci untuk menyelesaikan ketegangan.

        "Dengan mempromosikan diplomasi, kita dapat mendorong pendekatan yang lebih kolaboratif dan inklusif dalam hubungan internasional," ujar Achmad.

        Ia menyatakan bahwa diversifikasi hubungan ekonomi juga penting. Dalam upaya mengurangi ketergantungan dan mencegah dominasi ekonomi, negara-negara harus mencari kemitraan baru sambil memperkuat yang sudah ada.

        Selain itu, pendidikan dan kesadaran publik harus ditingkatkan. Masyarakat global harus mendapatkan informasi yang tepat tentang isu-isu geopolitik agar dapat memahami dan mendukung solusi yang berorientasi pada perdamaian.

        "Di era multipolar ini, mempromosikan multilateralisme dan investasi dalam teknologi serta inovasi menjadi penting. Dengan pemahaman, diplomasi, dan kerja sama, kita dapat bersatu untuk menciptakan dunia yang lebih damai, stabil, dan makmur, tanpa dominasi dari kekuatan dunia tertentu," tukasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: