Bea Cukai Bongkar Efek Rokok Ilegal, Tak Cuma Rugikan Masyarakat dan Indonesia
Operasi Gempur Rokok Ilegal terus digencarkan Bea Cukai di seluruh wilayah Indonesia sebagai langkah represif penanganan peredaran barang kena cukai (BKC) ilegal khususnya rokok, menyusul kenaikan tarif cukai rokok setiap tahunnya. Maraknya rokok ilegal perlu ditangani dengan serius mengingat dampaknya terhadap penerimaan cukai yang harusnya masuk ke negara dan kesehatan masyakarat.
Kasubdit Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Encep Dudi Ginanjar menjelaskan Operasi Gempur Rokok Ilegal merupakan aspek pencegahan dan penegakan hukum yang meliputi pemberian edukasi kepada masyarakat dan pelaku industri serta pemberantasan rokok ilegal.
Baca Juga: Riset Profesor di LSBU Membuktikan Produk Tembakau Alternatif Efektif Kurangi Kebiasaan Merokok bagi Perokok Dewasa
Maraknya rokok ilegal, kata Encep, dapat mengganggu iklim usaha khususnya industri rokok legal. Selain itu ada risiko hilangnya potensi penerimaan negara dan aspek kesehatan masyarakat menjadi tidak terjamin.
"Pada intinya rokok ilegal ini merugikan masyarakat dan negara. Hak-hak yang harusnya kembali kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk pembangunan, subsidi, dan lainnya dapat terganggu karena rokok ilegal tidak membayar cukai. Alasan seperti itulah yang membuat Bea Cukai berkomitmen untuk terus memberantas rokok ilegal," ungkapnya.
Encep memaparkan motif rokok ilegal umumnya bertujuan untuk menghindari membayar cukai yang sudah ditetapkan. Misalnya rokok ilegal yang tidak menggunakan pita cukai (rokok polos), pita cukai palsu, pita cukai bekas, hingga menggunakan pita cukai yang tidak sesuai aturan (peruntukan dan personalisasi). Motif yang paling banyak digunakan pelaku bisnis rokok ilegal, kata Encep, adalah rokok polos. Berdasarkan data penindakan Bea Cukai, 94,96% rokok ilegal tidak menggunakan pita cukai.
"Rokok ilegal ini tidak melewati berbagai proses standardisasi sehingga memiliki dampak negatif yang lebih besar. Selain itu rokok ilegal juga tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara, dengan kata lain, tidak mendukung proses penyelenggaraan negara, redistribusi pendapatan, hingga tidak berkontribusi dalam meminimalisasi eksternalitas yang timbul karena efek negatif konsumsi rokok," tegasnya.
Baca Juga: Di Tengah Tren Penjualan Rokok Melemah, Analis Sebut GGRM Masih Jadi Saham Pilihan
Pengawasan rokok ilegal di daerah juga demikian, Kepala Bea Cukai Kediri Sunaryo menyampaikan bahwa melalui berbagai penindakan di wilayahnya, timnya telah menangkap hampir 17 juta batang rokok ilegal pada tahun ini. Sedangkan pada tahun 2022, tangkapan di Kediri mencapai 23 juta batang yang setara dengan kerugian Rp20 miliar.
Sunaryo mengatakan disparitas harga menjadi salah satu penyebab motif salah peruntukan pita cukai. Hal ini terjadi karena adanya selisih tarif rokok antargolongan di mana perbedaan tarif yang signifikan mendorong upaya mengakali cukai.
Baca Juga: Kesadaran Kesehatan Anak Muda Bikin Tren Produksi Rokok di Indonesia Terus Melemah
"Kita harus aware bahwa permasalahan ini (rokok ilegal) juga menjadi permasalahan prevalensi. Kalau dalam praktiknya, sudah dipertimbangkan di pusat di mana ada satu kebijakan jangan sampai memberikan insentif kepada rokok ilegal karena kalau diberikan maka penerimaan negara juga tidak optimal," ucapnya.
Kekhawatiran ini beralasan sebab penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok sampai akhir Agustus 2023 hanya mencapai Rp126,8 triliun atau setara dengan 54,53% dari target dalam APBN 2023 yang sebesar Rp232,5 triliun. Bahkan realisasi ini menurun 5,82% dibandingkan pencapaian di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp134,65 triliun.
Baca Juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Tak Efektif Turunkan Angka Perokok
Menanggapi kondisi ini, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto melihat pentingnya pemberantasan rokok ilegal. Maraknya peredaran rokok ilegal ini semakin terasa setelah pemerintah memutuskan menaikkan tarif CHT pada 2023 dan 2024 sebesar rata-rata 10 persen. Kenaikan itu diterapkan pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: