Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dibalik Pelarangan TikTok Shop: Menggali Kontroversi dan Dampaknya

        Dibalik Pelarangan TikTok Shop: Menggali Kontroversi dan Dampaknya Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dalam era digital saat ini, platform media sosial telah menjadi jendela besar bagi bisnis dan individu untuk memasarkan produk dan jasa mereka. Salah satu fenomena terbaru yang memicu perdebatan luas adalah kehadiran TikTok Shop di platform media sosial TikTok. 

        Adopsi e-commerce dalam platform media sosial tersebut telah menuai banyak kontroversi lantaran dinilai dapat merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia.Bahkan, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan berencana akan mengatur larangan operasional TikTok Shop di Indonesia dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

        Baca Juga: Pedagang Tanah Abang: Toko yang Sepi Pengunjung Karena Nggak Ngerti Online, Bukan Karena TikTok

        Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menyampaikan bahwa pelarangan TikTok Shop dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran jika platform besutan China itu akan sangat diuntungkan jika e-commerce dan social commerce nantinya disatukan. Pasalnya, platform seperti TikTok Shop memiliki algoritma pengguna yang dapat digunakan untuk menampilkan iklan kepada penggunanya. 

        "Disepakati besok, revisi Permendag nomor 50 tahun 2020 akan kami tanda tangani. Ini sudah dibahas berbulan-bulan sama Pak Teten (menteri koperasi dan UKM)," ujar Mendag dikutip dari Youtube Sekretariat Negara RI, Jakarta, Selasa (26/9/2023).

        Ia juga menambahkan bahwa platform social commerce, seperti TikTok, hanya diperbolehkan untuk mempromosikan barang, tetapi tidak boleh memperjualbelikannya secara langsung. 

        "Dia (social commerce) hanya boleh promosi, seperti TV. TV kan enggak bisa terima uang. Dia semacam platform digital, tugasnya mempromosikan," tuturnya. 

        Mengapa Dilarang?

        Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa platform social commerce, terutama TikTok Shop memiliki dampak yang signifikan dalam mematikan UMKM-UMKM lokal. Oleh sebab itu, Jokowi mengatakan, revisi Permendag 50/2020 bertujuan untuk melindungi UMKM sekaligus menjadi landasan dan payung hukum bagi ekonomi digital.

        "Karena dampaknya sangat dahsyat sekali. Kita terlambat beberapa bulan saja efeknya sudah ke mana-mana. Payung besar regulasi tentang transformasi digital memang harus dibuat dengan lebih holistik, payungnya industri kreatif harus dipayungi, UMKM kita harus dipayungi dari terjangan dunia digital ini, ini yang sedang dikerjakan pemerintah," tegas Jokowi saat membuka acara Kongres XXV PWI, dikutip Selasa (26/9/2023). 

        Zulhas melanjutkan, bahwa revisi Permendag 50/2020 akan membatasi izin media sosial dan e-commerce, sehingga platform yang hanya memiliki izin media sosial tidak boleh melakukan bisnis seperti e-commerce. Hal ini dilakukan untuk mencegah platform menguasai algoritma dan tidak menggunakan data pribadi pengguna untuk kepentingan bisnis.

        "Hanya kalau dia [platform media sosial] mau menjadi sosial commerce harus izin, mengurus izin, silakan untuk mengurus izinnya," kata Zulhas.

        Bagaimana TikTok Shop Bisa Melemahkan UMKM Lokal? 

        Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut bahwa alasan TikTok Shop dapat melemahkan banyak UMKM lokal tidak lain dan tidak bukan lantaran persaingan usaha yang tidak sehat. 

        Baca Juga: Hashtag #KamiUMKMdiTikTok Trending di Media Sosial

        "Pelemahan UMKM salah satunya karena persaingan usaha yang tidak sehat dengan adanya TikTok shop. Barang yang identik atau sama tapi influencer dan produsen jualan langsung di TikTok shop itu merusak pasar," kata Bhima dikutip dari Kompas.com, Selasa (26/9/2023).

        Menurut Bhima, afiliasi TikTok dengan importir China dapat mengganggu bisnis.  Ia menyatakan bahwa algoritma pengguna media sosial dapat diarahkan untuk mendorong penjual yang terafiliasi dengan TikTok untuk menjual barang dengan harga yang sangat rendah. Hal inilah yang kemudian membuat UMKM lokal melemah karena tidak dapat bersaing. 

        “Akhirnya UMKM kecil tidak mungkin bersaing dengan penjual besar," tuturnya.

        Baca Juga: Banyak Influencer Bela Tiktok Shop, Pakar: TikTok Harus Lebih Bijak, Jangan Bawa-bawa Presiden

        Untuk diketahui, berdasarkan laporan dari Momentum berjudul "E-commerce in Southeast Asia 2023", total Gross Merchandise Values (GMV) atau akumulasi nilai penjualan TikTok Shop pada 2022 mencapai angka Rp 40,1 triliun.

        Meski bukan di posisi teratas, yakni masih dikalahkan oleh e-commerce lainnya, penjualan di TikTok kini terus meningkat. Berdasarkan laporan data Shoplus, sebuah tool analisis untuk aplikasi TikTok, sepanjang kuarter 4 tahun 2022, penawaran dan permintaan di e-commerce TikTok mengalami peningkatan.

        Jika TikTok Shop terus dibiarkan tanpa kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa jumlah tersebut akan terus bertambah dan tentunya akan semakin menggeser UMKM lokal.

        Pelarangan Tak Selesaikan Masalah?

        Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai bahwa pelarangan TikTok Shop bukan merupakan solusi yang efektif. Ia membeberkan praktik pemisahan aplikasi, antara TikTok Shop dan TikTok, itu merupakan hal biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan aplikasi utamanya. 

        "Regulasi memisahkan media sosial dengan TikTok Shop itu regulasi yang tidak bertaji karena pada akhirnya algoritma di TikTok Shop bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial," ujar Huda dikutip dari Republika, Selasa (26/9/2023).

        Huda justru berharap pemerintah seharusnya mendorong TikTok untuk menjadi platform e-commerce. Hal ini lantaran, praktik social commerce sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010-an. 

        Berdasarkan data BPS, Hunga mengungkap bahwa ada empat platform yang paling sering digunakan UMKM untuk berjualan secara online, yakni meliputi, instant messenger, media sosial, e-commerce atau pasar, dan website. Hal ini berarti, media sosial memainkan peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM, dengan urutan kedua tertinggi. 

        "Jadi jika sosial media dilarang untuk berjualan, itu memutus satu langkah UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah," ucap Huda.

        Menurut Huda, untuk menciptakan level playing field yang setara, pemerintah seharusnya mengatur social commerce agar setara dengan e-commerce atau pedagang luring. Selain itu, pemerintah juga dapat  melindungi produk lokal dengan memperketat impor, memberikan insentif untuk produk lokal, dan memperketat impor.

        Baca Juga: TikTok Shop Dilarang, Pedagang Tanah Abang Full Senyum Usahanya Bisa Bangkit Lagi

        "Jadi saya melihat, social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," tutup Huda.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
        Editor: Aldi Ginastiar

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: