Sekretaris Jendral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana mengatakan, berdasarkan hasil kajian dengan memperhatikan keekonomian akses di masyarakat dan potensi yang dimiliki pada akhir 2060 sektor energi tidak bisa NZE karena masih tersisa emisi 129 juta ton emisi.
Menurutnya, berdasarkan roadmap, PLTU berbahan bakar batu bara akan berakhir sebelum 2060. Yang tersisa adalah BBM dan LPG yang digunakan industri. Listrik semuanya akan berbasis pada energi bersih tidak akan keluarkan emisi.
Baca Juga: IREIS 2023 Jembatani Investor China dengan Pemerintah RI Untuk Pengadaan Energi Terbarukan
"PLTU akan selesai sebelum periode 2060. Untuk itu, yang harus dipastikan adalah ketersediaan migas ada terus,” ujar Dadan dalam webinar Refining Sustainability “The Path Toward Energy Transition” yang digelar E2S, Selasa, (14/11/2023).
Dadan mengatakan, peranan energi fosil masih penting dalam transisi energi, minyak, khususnya BBM menjadi sumber energi di sektor transportasi.
Dimana, kendaraan yang menggunakan BBM didorong melakukan konversi melalui program kendaraan listrik.
“Untuk kendaraan eksisting didorong dari sisi spek-nya sehingga emisinya berkurang,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, sebagian besar aktivitas masyarakat masih menggunakan BBM.
Maka jika berbicara ketahanan energi dibandingkan negara lain, Indonesia berada di lampu kuning. Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) sejak 2015 sudah ada impor BBM, jika tidak ada penambahan kapasitas kilang maka impor akan meningkat.
Baca Juga: Pertamina-Sinopec Kolaborasi Guna Perkuat Komitmen Transisi Energi
“Kebutuhan BBM empat juta barrel per day. Ini sangat besar sekali. Ini perlu diantisipasi semua pihak,” ujar Komaidi.
Menurut Komaidi, impor minyak mentah jauh lebih murah dari produk jadi. Kalau Indonesia impor minyak mentah, devisanya lebih sedikit, KPI tetap running, ada produk yang dihasilkan.
KPI juga moving ke produk berbasis lingkungan, dengan berbagai proyek yang dikembangkan. Indikasinya akan menjalankan transisi energi disesuaikan dengan kondisi ekonomi sosial, baik dalam proses maupun produknya.
Baca Juga: Berkat Tingginya Kepuasaan Karyawan, Energia Prima Sabet 2 Penghargaan Sekaligus
Komaidi mengatakan segala sesuatu akan dijalankan seimbang sejalan dengan kondisi makro Indonesia. Indonesia akan menjalankan transisi energi, tapi tidak sepenuhnya dengan keinginan internasional, ada kearifan lokal yang disesuaikan.
"Di beberapa pilar Pertamina, hampir semuanya melibatkan kilang, di energi efisiensi, flare gas, hampir semua yang akan dikerjakan Pertamina dalam konteks penurunan emisi akan melibatkan kilang,” ungkapnya.
Sementara itu, Founder Digital Energy Asia, Salis S Aprilian mengatakan, renewable energy yang berkembang di tahun 70-an, kalau dilihat dari energy demand di Indonesia 2020-2050 porsi minyak memang berkurang, tapi secara kuantitas masih meningkat.
Dimana muncul apa yang dinamakan energy transition menggunakan renewable energy tapi tidak serta merta tidak menggunakan lagi minyak dan batu bara.
“Inilah peran gas dalam transisi, akan sangat signifikan karena dari sisi biaya, waktu, untuk mengembangkan renewable energy tidak mudah dan mahal. Bisa ditopang dengan gas,” ujar Salis.
Terkait upaya agar kilang bisa sustain di masa transisi energi, Salis mengatakan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, harus diversifikasi produk, lalu digitalisasi sistem, decentralizing policy, dan decarbonization.
Baca Juga: Penjualan Merosot 38,20%, Alfa Energi Tetap Sanggup Tekan Kerugian
"Kalau ingin kilang di Indonesia sustain, paling tidak empat langkah inilah yang harus ditempuh,” ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Aldi Ginastiar