Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Analis Reku Amati Faktor Pendorong Lain dan Potensi Melonjaknya Bitcoin, Apa Saja?

        Analis Reku Amati Faktor Pendorong Lain dan Potensi Melonjaknya Bitcoin, Apa Saja? Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Analis kripto dari Reku, Fahmi Almuttaqin mengamati kenaikan harga Bitcoin hingga US$42.400 (Rp657 juta) dipengaruhi oleh berbagai faktor. Merupakan harga tertinggi sejak April 2022, Fahmi mengatakan bahwa kenaikan ini – selain didorong optimisme persetujuan dana yang diperdagangkan (ETF) dari Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) – juga akibat rendahnya tekanan jual dari investor. 

        Dilansir dari keterangannya pada Selasa (5/12/2023), Fahmi mengatakan, faktor rendahnya tekanan jual dari investor diukur dari data exchange netflow Bitcoin, yang katanya: 

        Baca Juga: Laporan Bybit: Bitcoin dan Ethereum ‘Lari’ dari Investor Institusional

        “Semakin rendah exchange netflow berarti semakin rendah pula kemungkinan investor untuk menjual aset. Melansir IntoTheBlock, exchange netflow Bitcoin pada tanggal 2 Desember lalu negatif -3,32 ribu Bitcoin, kemudian masih negatif pada 3 Desember yakni -1,11 ribu Bitcoin,” jelas Fahmi.

        Melalui data tersebut, Fahmi menjelaskan bahwa lebih banyak investor Bitcoin yang memindahkan dana dari exchange ke dompet pribadi, daripada yang memindahkannya dari dompet pribadi ke exchange

        “Hal ini menandakan investor lebih memilih untuk menyimpan atau hold Bitcoin yang dimiliki daripada menjualnya, meskipun harga sudah naik ke area US$39.500 (Rp612 juta) pada waktu itu,” tambah Fahmi.

        Fahmi juga menambahkan, faktor pendorong kenaikan harga Bitcoin akibat peran investor institusional yang terus mengakuisisi Bitcoin terlepas dari kenaikan harga yang terjadi. Fahmi menyebut perusahaan analisis global MicroStrategy yang kembali membeli Bitcoin sebesar 16.130 koin atau setara US$593,3 juta (Rp9 triliun) secara tunai, selama periode 1 November dan 29 November tahun 2023. 

        “Pembelian tersebut merupakan yang terbesar setelah pembelian yang dilakukan pada Februari 2021 lalu dan membuat MicroStrategy dan anak perusahaannya saat ini memiliki total 174,530 Bitcoin. Padahal, seperti yang kita tahu, harga Bitcoin di bulan November sudah naik dan berada pada area di atas US$34 ribu (Rp526 juta dibandingkan pada Oktober yang masih di kisaran US$26 ribu (Rp402 juta),” ungkap Fahmi.

        Baca Juga: Catatkan Rekor Tinggi, Bitcoin Jadi ‘Penerima Manfaat Utama’ Investasi

        Menurutnya, investor institusional juga berperan dalam peningkatan harga Bitcoin. Ini menandakan bahwa mereka percaya terhadap aset kripto, sehingga dapat meningkatkan legitimasi aset kripto dan meningkatkan kepercayaan diri investor ritel secara umum. 

        “Selain itu, masuknya investor institusional juga mendorong capital inflow yang besar ke dalam pasar kripto yang juga dapat mempengaruhi harga,” kata Fahmi.

        Ditambah lagi, terdapat sentimen investor terhadap penurunan suku bunga The Fed pada kuartal pertama tahun 2024. Sentimen ini berkembang jelang pertemuan penentuan kebijakan suku bunga The Fed pada pekan depan. Fahmi menganggap, investor mulai bersiap menghadapi siklus baru akibat penurunan bunga tersebut. 

        Baca Juga: Selaraskan Harga, Grayscale Bitcoin Trust Bidik Pergeseran ETF

        “Investor mulai bersiap menghadapi siklus baru penurunan suku bunga tersebut dengan mulai mengambil posisi di aset kripto.” imbuhnya.

        Lantas, apakah investor perlu membeli atau menjual Bitcoin-nya? Fahmi mengatakan, berdasarkan Indeks Fear & Greed yang dilansir dari alternative.me, menunjukkan angka 75, yakni tanda bahwa pasar berada di fase optimis atau greed. Menurut Fahmi, angka ini tertinggi sejak November 2021. Pada 6 November 2023 lalu, indeks berada di angka 74 dengan harga Bitcoin sekitar US$35 ribu (Rp542 juta).

        “Artinya, ruang pertumbuhan masih sangat terbuka. Tersentuhnya area extreme greed biasanya menjadi sinyal waspada bahwa investor cenderung terlalu optimis, namun hal itu saat ini belum terjadi.” jelas Fahmi.

        Ketika investor meresponnya dengan stabil, ini dapat membuka peluang bagi Bitcoin untuk melanjutkan tren bullish yang terbentuk.

        Menurut Fahmi, situasi ini menggambarkan potensi bagi investor existing untuk kemungkinan reli lebih besar lagi. Sementara bagi investor yang baru ingin berinvestasi, kondisi kini masih tergolong cukup awal untuk masuk ke pasar Bitcoin. 

        Baca Juga: MicroStrategy Borong Bitcoin Lagi Senilai Rp9,3 Triliun

        “Sebab, biasanya Indikator Fear & Greed akan menunjukkan sinyal extreme greed ketika banyak investor baru yang berbondong-bondong membeli Bitcoin” tutup Fahmi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nadia Khadijah Putri
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: