Penyebutan istilah neo orba (orde baru) marak di kalangan akademisi dan politisi usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan batas usia capres-cawapres yang diduga kuat sebagai upaya meloloskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres di Pemilu 2024.
Istilan neo orba juga ramai diperbincangkan usai Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri menuding penguasa sekarang mirip pemerintahan Orba.
Pengamat politik Prof Muhammad Athoillah Shohibul Hikam atau Prof AS Hikam mengatakan, ada perbedaan antara karakter orde baru dengan neo orde baru. Perbedaan pertama, kata Menteri Negara Riset dan Teknologi era Gus Dur ini, terletak pada sistem politik.
Pada Orde baru yang telah tumbang 1998, penguasa saat itu menggunakan military otoritarian sebagai senjata. Sementara neo orba, yang muncul saat ini cenderung menggunakan formal konstitusional demokrasi.
“Dari dua ini jelas ada perbedaan yang cukup kualitatif karena setidaknya karena neo atau yang disangka ini mempunyai semacam basis normatif sebagai konstitusional,” ujar Prof AS Hikam saat menjadi narasumber Diskusi Daring bertajuk "Fenomena Neo Orba di Pilpres 2024: Demokrasi di Simpang Jalan?", Selasa (23/1/2024) malam.
Kedua soal kebijakan pembangunan ekonomi, orde baru menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang berbasis pada intervensi negara bercampur dengan kekuatan kapital swasta. Sementara di zaman neo orde baru sekarang, ada semacam restrukturisasi ekonomi dan pembangunan ekonomi atau bisa disebut neoliberalisme.
Baca Juga: Singgung Neo Orba di Pilpres 2024, Politisi PDIP: Demokrasi Harus Diselamatkan
“Dan ini sudah diikuti oleh hampir semua negara-negara yang ada di pinggir, di pusat maupun di seberang,” ucapnya.
Ketiga yaitu ideological hegemony yang dilakukan Presiden Jokowi yaitu memberi kebebasan interpretasi soal nilai Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain, upaya melanggengkan kekuasaan oleh Jokowi dilakukan melalui jalur-jalur konstitusional, berbeda dengan orde baru Soeharto yang banyak melanggar konstitusi.
“Walaupun di sini sempat ada upaya agar tafsir nilai pancasila ini dibangkitkan lagi,” tuturnya.
Dari penjelasan ini Prof AS Hikam menyebut bahwa Presiden Jokowi berupaya untuk membangun dinasti politik, tetapi dengan cara-cara yang berbeda dengan Soeharto. Hal ini juga yang kemudian membuat masyarakat terbagi, ada yang pro dan kontra.
Baca Juga: Acara Desak Anies Lagi-lagi Dapat 'Gangguan', Anies Baswedan: Kapan Demokrasi Kita Mau Maju?
Kegiatan Kegiatan ini digelar oleh Forum Intelektual Muda ini menghadirkan Pengamat Komunikasi Politik Hendri Subiakto, Pengamat Politik Moch AS Hikam dan Politisi Muda PDIP Setiawan sebagai narasumber. Sementara pesertanya adalah puluhan anak muda dan mahasiswa dari berbagai daerah.
Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna mengatakan, diskusi terkait dengan neo orba di Pilpres 2024 ini berangkat dari kegelisahan anak-anak muda terhadap penguasa yang berupaya membangun dinasti politik.
Menurut dia, dinasti politik yang tercermin dalam kasus Gibran di Pilpres 2024 jangan sampai terulang. Hal ini karena membahayakan bagi masa depan demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan rakyat secara merata.
“Forum intelektual muda ini sengaja menggelar diskusi ini karena banyak anak-anak muda yang gelisah akan kondisi bangsa kita hari ini, terutama dalam konteks Pilpres 2024,” pungkas Sutisna.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat