Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Gibran dan Asta Cita, Bangun Pilar Budaya Bahari untuk Masa Depan Maritim Indonesia

        Gibran dan Asta Cita, Bangun Pilar Budaya Bahari untuk Masa Depan Maritim Indonesia Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia, sebagai negara kepulauan terluas di dunia dengan 17.504 pulau dan 12.827 desa tepi laut (Badan Pusat Statistik, 2017), memancarkan identitas bahari yang kaya. Tak hanya memiliki satu "laut utama," Indonesia memiliki tiga laut utama yang membentuk sistem laut, yakni Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. Data dari UNCLOS 1982 menunjukkan bahwa luas wilayah perairan Indonesia mencakup 3,1 juta km², terbagi menjadi Perairan Kepulauan seluas 2,8 juta km² dan Wilayah Laut seluas 0,3 juta km² (Pramono, 2005:2). Indonesia juga menguasai hak berdaulat atas sumber daya alam dan berbagai kepentingan dalam ZEE seluas 2,7 juta km². Keberlanjutan ini diperkuat oleh kekuatan sumber daya kelautan yang mengesankan, menjadikan Indonesia sebagai "benua maritim" keenam dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Selain itu, Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya yang bersumber dari sektor maritim.

        Peran wilayah laut memiliki kepentingan besar dalam kehidupan bangsa Indonesia, yang sebagai negara kepulauan seharusnya memupuk budaya bahari yang kuat. Lagu tentang nenek moyangku seorang pelaut mengingatkan kita pada masa kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim. Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit berhasil menguasai lautan dalam perdagangan internasional, menandakan kehebatan maritim bangsa ini. Wilayah laut Indonesia, selain menjadi pusat perdagangan, juga menjadi tempat persinggahan bagi berbagai bangsa karena terletak di perempatan jaringan lalu lintas laut antara dunia timur dan barat. Kesadaran akan potensi kelautan Indonesia mendorong sektor kemaritiman sebagai fokus kebijakan, dengan harapan menghidupkan kembali kegemilangan Indonesia sebagai negara maritim.

        Baca Juga: Gibran Rakabuming Buka Peluang Pendidikan bagi Putra-Putri Petani, Nelayan, Guru, dan Buruh

        Pada tahun 2014, Presiden Jokowi menginisiasi Poros Maritim Dunia sebagai langkah besar untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur. Tujuannya adalah mewujudkan pemerataan ekonomi dengan memanfaatkan identitas maritim Indonesia (Kominfo, 2016). Mengakui pentingnya peran dan manfaat sektor kemaritiman, Presiden Jokowi membentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman sebagai salah satu langkah konkret untuk menghidupkan kembali kejayaan tradisi kemaritiman Indonesia.

        Untuk merealisasikannya, perlu membangun kembali pilar budaya maritim atau bahari. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk kebijakan yang mengarah pada revitalisasi budaya bahari untuk menciptakan peradaban maritim Nusantara. Kejayaan budaya bahari Indonesia yang telah mundur seiring waktu dan dampak globalisasi harus segera dipulihkan.

        Menurut Pramono (2005:7), kemunduran budaya bahari disebabkan oleh beberapa faktor sejarah. Pertama, mundurnya dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit, yang sebelumnya menguasai jalur perdagangan laut. Kedua, masuknya VOC dan awal kolonialisme di Indonesia, dengan salah satu peristiwa penandatanganan Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang menandai hilangnya kebudayaan bahari. Ketiga, perubahan mindset karena dominasi Belanda, yang mengatur pola hidup orang Indonesia dan membuat mereka melupakan budaya bahari.

        Upaya membangun kembali budaya bahari bertujuan memberikan landasan budaya dan nilai bahari yang kuat bagi masyarakat Indonesia, menjadi dasar pembangunan negara maritim (Sulistiyono, 2009). Peningkatan budaya bahari sangat penting untuk diperkenalkan, terutama kepada anak-anak agar mereka memahami keberagaman budaya bahari di Indonesia. Budaya bahari mencakup segala sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat di pesisir atau laut (Dahuri dkk, 2004:6). Menurut konsep Wijaya (2015:4), budaya bahari adalah keberanian, keterampilan mengarungi lautan, dan pandai membaca isyarat alam. Keberanian ini didukung oleh keluhuran budi, kearifan jiwa, etika bahari, dan rambu samudera.

        Bila dikaitkan dengan konteks politik Indonesia yang tengah terjadi hari-hari ini. Pertarungan dalam pemilihan calon wakil presiden (cawapres) menjadi sorotan utama, khususnya ketika ada agenda progresif yang diusung. Salah satu agenda yang menarik perhatian adalah program Asta Cita yang diusung oleh Cawapres Gibran Rakabuming Raka. Dalam program ini, terdapat komitmen untuk memasukkan budaya bahari dalam kurikulum dan sistem pendidikan nasional. Sebagai isu yang mencakup aspek pendidikan dan kearifan lokal, penting untuk mengeksplorasi dan mengulas secara mendalam mengapa agenda ini memiliki signifikansi dan dampak yang besar bagi kemajuan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia.

        Program Asta Cita, yang menjadi platform bagi Cawapres Gibran Rakabuming Raka, menandakan visinya untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan berkepribadian bangsa. Dalam konteks ini, penekanan pada inklusi budaya bahari dalam pendidikan nasional menunjukkan pemahaman akan warisan maritim Indonesia yang kaya. Budaya bahari mencakup sejarah, kearifan lokal, dan keterampilan maritim yang telah menjadi bagian integral dari identitas bangsa. Oleh karena itu, memasukkan elemen budaya bahari dalam kurikulum pendidikan nasional merupakan langkah strategis untuk membangkitkan kebanggaan akan identitas maritim Indonesia.

        Salah satu alasannya adalah fakta bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ribuan pulau dan garis pantai yang memanjang. Identitas maritim menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pesisir. Namun, sering kali, pemahaman dan penghargaan terhadap kekayaan budaya bahari masih kurang diakui secara menyeluruh. Dengan memasukkan budaya bahari dalam kurikulum, generasi muda Indonesia dapat lebih menyadari keberagaman budaya maritim yang kaya dan memahami betapa pentingnya menjaga dan menghargainya.

        Aspek penting lainnya adalah kontribusi budaya bahari terhadap ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Memahami keterampilan maritim, teknologi perikanan tradisional, dan nilai-nilai etika bahari dapat membuka peluang baru bagi para pelajar untuk terlibat dalam sektor kelautan. Dengan demikian, pengintegrasian budaya bahari dalam kurikulum pendidikan nasional tidak hanya menciptakan pemahaman budaya, tetapi juga mempersiapkan generasi muda untuk berperan aktif dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan.

        Selain itu, program ini juga memberikan peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Dengan memasukkan budaya bahari dalam kurikulum, pendidikan di Indonesia dapat menjadi lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran yang terkait dengan realitas lokal cenderung lebih menarik dan memberikan dampak yang lebih besar pada pemahaman serta penerimaan materi pelajaran. Ini menciptakan lingkungan belajar yang dinamis dan memotivasi siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran.

        Selanjutnya, pengintegrasian budaya bahari dalam sistem pendidikan nasional dapat mendukung pembangunan karakter bangsa. Budaya bahari memiliki nilai-nilai seperti keberanian, kerja sama, dan ketahanan dalam menghadapi tantangan. Dengan memasukkan aspek-aspek ini dalam pendidikan, kita dapat membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan berlandaskan nilai-nilai luhur.

        Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi dalam merealisasikan agenda ini. Pertama, perlu adanya upaya untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dan metode pembelajaran yang efektif untuk memasukkan budaya bahari. Proses ini melibatkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Kedua, perlu diselenggarakan pelatihan bagi para pendidik agar mereka dapat mengintegrasikan materi budaya bahari secara efektif dalam pengajaran mereka.

        Dalam menghadapi kritik atau keraguan terkait agenda ini, penting untuk menjelaskan bahwa pengintegrasian budaya bahari bukanlah usaha untuk menggantikan kurikulum yang telah ada, melainkan sebagai tambahan yang bernilai tambah. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan mata pelajaran khusus atau pengintegrasian unsur-unsur budaya bahari dalam mata pelajaran yang sudah ada.

        Baca Juga: Bersama Gibran, Memajukan Bangsa melalui Jaringan Perpustakaan dan Taman Bacaan

        Dengan memasukkan budaya bahari dalam kurikulum dan sistem pendidikan nasional, Indonesia dapat menciptakan fondasi yang lebih kokoh untuk pembangunan bangsa yang berkepribadian maritim. Ini tidak hanya memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang warisan budaya, tetapi juga membuka pintu menuju peluang ekonomi dan pengembangan sektor kelautan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, agenda ini perlu mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan keberlanjutan dan kesuksesannya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: