Hilirasi atau mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi pada produk nikel menjadi sebuah peluang untuk Indonesia meningkatkan pendapatan negara namun juga berpotensi merusak lingkungan.
Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Centre for Research on Energy and Clean Air atau CREA (Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih) bersama dengan Center for Economic and Law Studies (CELIOS) dengan judul "Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel" hilirisasi nikel menjadi pisau bermata dua bagi Indonesia.
Di mana, permasalahan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), penurunan harga akibat surplus pasokan nikel Indonesia, serta potensi perubahan kebijakan nikel seiring transisi negara ke pemerintahan baru.
Dalam laporan tersebut melihat bahwa pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo telah menekankan nilai tambah dalam negeri sebagai penggerak utama kebijakan hilirisasi.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel Bakal Sumbang US$4 Miliar dalam Lima Tahun, Ini Dampak Lanjutannya
"Meskipun nilai ekspor telah meroket, terdapat pertanyaan apakah strategi tersebut benar-benar memberikan nilai bagi perekonomian nasional. Produk nikel produksi dalam negeri dijadikan bahan mentah untuk diolah lebih lanjut menjadi produk yang akhirnya dijual kembali ke Indonesia," tulis laporan tersebut dikutip, Rabu (21/2/2024).
Meski begitu, jika dilihat lebih jauh kontribusi terhadap perekonomian lokal juga terbilang terbatas, mengingat insentif dan tax holiday yang ditawarkan kepada industri nikel, belum lagi kesenjangan upah antara pekerja lokal dan asing.
Dalam laporannya, CREA dan CELIOS memanfaatkan kesempatan untuk melakukan kajian terhadap dampak kebijakan hilirisasi nikel di tiga provinsi utama yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Baca Juga: Harga Nikel Anjlok, Indonesia Harus Jangan Sampai Terlambat Antisipasi
"Analisis ini dibuat untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai dampak ekonomi, serta dampak kesehatan dan lingkungan dari emisi yang terkait dengan pengolahan logam nikel dan PLTU captive," tulisnya.
Berdasarkan laporan tersebut, Crea memperkiraan beban kesehatan dan ekonomi yang disebabkan oleh polusi udara yang dihasilkan dari pusat pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara terhadap masyarakat yang tinggal di dekat dan sekitar pulau-pulau tersebut.
"Analisis menunjukkan bahwa pengoperasian penuh kapasitas produksi nominal akan mengakibatkan 5.000 kematian dan beban ekonomi sebesar USD3,42 miliar per tahun akibat dampak kesehatan terkait polusi udara," tulisnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: