Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Peningkatan Aktivitas Ekonomi Diharapkan Mampu Mendukung Penguatan Pasar Saham Indonesia

        Peningkatan Aktivitas Ekonomi Diharapkan Mampu Mendukung Penguatan Pasar Saham Indonesia Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengungkapkan data ekonomi AS yang lebih kuat dari ekspektasi di awal 2024 dimana data ketenagakerjaan dan inflasi yang lebih kuat dari ekspektasi, memberikan validasi bagi pandangan The Fed untuk tidak terburu-buru memangkas suku bunga.

        Senior Portfolio Manager, Equity MAMI, Samuel Kesuma mengatakan, data ekonomi AS yang lebih kuat dari ekspektasi menyebabkan terjadinya perubahan ekspektasi di pasar. Ekspektasi pasar untuk pemangkasan Fed Funds Rate (FFR) di tahun 2024 telah berkurang menjadi 85 bps dari 150 bps di awal tahun, sehingga akan lebih selaras dengan proyeksi dot plot The Fed. Namun perubahan ekspektasi ini juga menyebabkan volatilitas di pasar global, dimana imbal hasil US Treasury cenderung meningkat dan nilai tukar USD kembali menguat. 

        “Walau demikian, kondisi ini tidak merubah pandangan The Fed, di mana Ketua The Fed Jerome Powell dalam testimoninya di Kongres AS masih optimis bahwa suku bunga dapat diturunkan tahun ini,” ujar Samuel, dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (17/3/2024). 

        Baca Juga: Meski Dilanda Efek The Fed, Reku Optimistis Market Kripto Akan Menghijau

        Samuel menambahkan, selama tiga siklus penurunan suku bunga The Fed sebelumnya, indikator makro dan pasar finansial Indonesia menunjukkan hasil yang positif. Siklus pemangkasan The Fed pada tahun ini diharapkan dapat memberikan hasil serupa bagi Indonesia. 

        Jika dilihat, kondisi inflasi domestik yang terjaga membuka ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga. Memang dalam jangka pendek, BI diperkirakan masih akan mempertahankan postur pro-stabilitas, menahan suku acuan di 6%, untuk menjaga selisih suku bunga agar tetap menarik, sebagai dampak dari nilai tukar rupiah yang masih relatif rentan terhadap sentimen global. Peluang untuk mengalihkan kebijakan moneter ke arah pro pertumbuhan lebih terbuka ketika terdapat indikasi yang lebih jelas terkait potensi pemangkasan suku Bunga The Fed dan fluktuasi nilai tukar mereda.

        Pelonggaran moneter akan mendorong normalisasi likuiditas domestik, setelah sebelumnya demi menjaga stabilitas eksternal, BI melakukan pengetatan likuiditas. 

        Peluang pergeseran ini diperkirakan akan terjadi bersamaan dengan pelonggaran suku bunga The Fed. Likuiditas yang membaik dapat memberikan dukungan yang lebih baik terhadap aktivitas perekonomian dan sentimen di pasar finansial. 

        Baca Juga: Analisis Saham Perbankan Tren Sideways dan Potensi Koreksi

        Selain kebijakan suku bunga, diperkirakan BI dapat melonggarkan kebijakan moneternya dengan menggunakan alat kebijakan non-suku bunga, seperti menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebelum mulai menurunkan suku bunga BI. Secara historis penurunan GWM terjadi sebelum siklus penurunan suku bunga BI seperti pada tahun 2015 dan 2019.

        “Kondisi likuiditas yang diharapkan lebih baik dan pemilu yang berjalan aman diharapkan dapat mendukung penguatan pasar saham Indonesia secara lebih berkelanjutan. Optimisme terhadap peningkatan aktivitas perekonomian dan kondisi moneter yang lebih akomodatif diharapkan dapat meningkatkan minat investasi investor domestik dan aliran likuiditas ke pasar saham Indonesia,” terang Samuel.

        Di tengah kondisi global yang dinamis, investor disarankan mengambil posisi yang berimbang pada konstruksi portofolio, mengombinasikan elemen potensi katalis jangka pendek, defensif, dan potensi struktural jangka panjang. Untuk jangka pendek, sektor-sektor yang diuntungkan dari pemangkasan suku bunga (interest rate sensitive) seperti di perbankan, properti, tower telekomunikasi, dan konsumer non-primer. 

        Untuk strategi defensif, sektor telekomunikasi menjadi pilihan karena karakteristik industri cenderung resilien mengingat data merupakan kebutuhan pokok dan potensi kinerja emiten yang baik. 

        "Adapun untuk potensi pertumbuhan struktural, sektor yang berhubungan dengan bahan baku untuk industri energi baru terbarukan. Transisi menuju era dekarbonisasi menguntungkan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan," tutupnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: