Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyarankan pemerintah untuk segera menggenjot penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di tengah risiko kenaikan harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan EV sebagai langkah alternatif untuk mengurangi konsumsi BBM di tengah melambungnya harga minyak dunia dan melemahnya rupiah terhadap dollar Amerika. Dengan demikian, subsidi energi bisa ditekan dan mengurangi beban fiskal negara,” katanya dalam sebuah wawancara.
Menurut Abra, penggunaan kendaraan listrik dengan sendirinya bakal menekan penggunaan bahan bakar minyak yang selama ini menyedot anggaran APBN. “Saran tersebut bagus untuk pemerintah agar subsidi energi bisa tepat sasaran,” kata Abra.
Nantinya, kata Abra, subsidi energi akan terkompensasi melalui konsumsi listrik melalui penggunaan EV. Nah, solusi ini sangat jarang sekali menjadi diskursus oleh pemerintah terutama terkait dengan cara mengatasi persoalan ketahanan energi kita dengan secara holistik. “Bukan hanya bicara BBM tetapi juga bicara di sektor tenaga listrik.”
Abra manyampaikan, tahun lalu suplai listrik juga sangat cukup bahkan surplus hingga 40% atau setara 6 gigawatt. “Dengan menggenjot penggunaan kendaraan listrik, maka nantinya ada substitusi, dari sebelumnya konsumsi BBM ke konsumsi listrik.”
Dengan cara tersebut, papar Abra, akan ada pengurangan importasi BBM untuk kendaraan yang sangat besar itu. Belum lagi, negara juga bisa mendapatkan keuntungan dari penggunaan listrik yang sampai saat ini masih dalam kondisi surplus.
Abra menambahkan, solusi tersebut sangat patut dipertimbangkan karena penggunaan kendaraan listrik baik sepeda motor maupun mobil dipastikan akan mengurangi BBM. “Dengan begitu konsumen akan menggunakan sumber energi domestik yaitu dari listrik."
Baca Juga: Kembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik, Wuling Resmikan 6 Titik Pengisian Daya Cepat
Saat ini pada 2024, tambah Abra, asumsi kurs berada pada Rp15.000 per dolar. Nah, sampai hari ini sudah kurang lebih sudah di atas Rp16.000. “Artinya dua risiko itu sudah menjadi bagian yang berpotensi meningkatkan defisit migas kita dan ketiga risiko terjadinya over quota nah kalau misalnya harga naik.”
Jika harga minyak mentah naik, kata Abra, pemerintah tidak mempunyai banyak pilihan selain menambah anggaran subsidi.
“Situasi ini memang sangat berbahaya sekali ketika pemerintah tidak mampu memitigasi sejak awal kira-kira berapa besar nanti potensi terjadinya migrasi BBM non-subsidi ke subsidi,” ujar Abra.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: