Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        China Hadirkan Ancaman DeFacto di Laut China Selatan

        China Hadirkan Ancaman DeFacto di Laut China Selatan Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pandangan kritis masyarakat terhadap Republik Rakyat China (RRC), khususnya terkait sikap agresif negara itu di Laut China Selatan dalam beberapa tahun terakhir ini, perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Hal ini karena persepsi dan pandangan publik idealnya tak terlalu berbeda dari sudut pandang elit yang berkuasa. 

        Demikian salah satu argumen yang dipaparkan dalam seminar berjudul "Ancaman China di Laut China Selatan: Antara Persepsi dan Realita", yang diselenggarakan oleh Pusat Studi G20 Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, kemarin.

        Baca Juga: Pertamina Marine Engineering Garap 4 Proyek Bawah Laut Strategis

        Co-Founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Edna Caroline, mengharapkan Indonesia memiliki sikap yang tegas dalam menghadapi ancaman China di Laut China Selatan, demi mempertahankan prinsip-prinsip Indonesia. 

        “Memang Indonesia menjalankan politik luar negeri bebas aktif, tetapi bebas dan aktif tidak berarti tidak punya prinsip,” ujar ketua program studi Magister Ilmu Hubungan Internasional UPH itu. “Dengan memegang prinsip, Indonesia akan memainkan peran yang besar di kancah regional dan internasional,” lanjutnya.

        Diskusi mengenai sikap tegas terhadap China di atas mengemuka sebagai respons dari hasil jajak pendapat publik yang dilakukan oleh ISDS beberapa waktu yang lalu. “Dalam survei tersebut, 78,9% responden berpandangan bahwa kehadiran China di Laut China Selatan membawa ancaman bagi negara-negara ASEAN. Sedangkan 73,1% responden menganggap China menghadirkan ancaman bagi Indonesia,” tutur dia.

        Yang menarik, Edna mengemukakan bahwa generasi Y dan Z termasuk di antara responden yang memiliki persepsi ancaman dari China itu. Yang tak kalah menarik, sebanyak 39,1% responden beranggapan bahwa Indonesia dapat memperkuat kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan melalui menjalin kemitraan dengan negara-negara ASEAN.

        Baca Juga: PHK Karyawan Lokal Tokopedia-TikTok Disebut Demi Pekerja China, Ini Kata Kemenaker

        Sedangkan 16,7% menganggap Amerika Serikat (AS) sebagai mitra yang tepat. Isu kedaulatan juga menjadi sebuah tema yang didiskusikan dalam seminar ini. Edna melaporkan bahwa para responden survei memahami kedaulatan bukan semata-mata dalam konteks teritorial, tetapi juga dalam konteks lain, seperti kedaulatan ekonomi, politik, dan ideologi.

        Sementara itu, Dosen Program Studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Laksamana Muda TNI (Purn) Surya Wiranto menegaskan perbedaan antara kedaulatan dan hak berdaulat. “Kedaulatan termasuk dalam wilayah teritorial Indonesia, dan hanya sejauh 12 mil dari pulau terluar Indonesia, sedangkan hak berdaulat yang meliputi zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang membentang hingga 200 mil laut dari pulau terluar,” tuturnya. 

        Ditinjau dari hal di atas, seolah-olah tak ada permasalahan antara Indonesia dan China di Laut China Selatan. Namun pada praktiknya, menurut Surya, China melakukan klaim terhadap wilayah ZEE Indonesia, dengan menarik garis putus-putus sebagai tanda kepemilikan China atas sebagian ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, sebuah perairan yang sejak 2017 dinamakan sebagai Laut Natuna Utara. 

        “Perlu diketahui bahwa klaim China tersebut bukan hanya terkait hak menangkap ikan yang menurut mereka telah mereka lakukan di sana dalam sejarah, tetapi juga klaim terhadap landas kontinen Indonesia, yang menentukan hak Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di bawah laut,” tegas dia.

        Meskipun klaim tersebut tidak berdasar dan dinilai ilegal menurut Konvensi PBB Terhadap Hukum Laut (UNCLOS), China tetap melakukan berbagai aktivitas untuk menegakan klaimnya tersebut. 

        “Milisia maritim China, dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai China, sambil diawasi oleh angkatan laut mereka, berulangkali memasuki ZEE Indonesia,” tutur dia. Itulah sebabnya Surya berpandangan bahwa secara de facto, China menghadirkan ancaman di Laut China Selatan, meski secara de jure, Indonesia tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan China.

        Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto menambahkan bahwa pemahaman responden di atas memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat sensitif dan menentang setiap upaya pihak luar mempengaruhi kemandirian negara dan pemerintah Indonesia melalui cara apapun. Ia berpandangan bahwa persepsi China sebagai ancaman dapat ditelurusi hingga ke pertengahan abad yang lalu. 

        “Persepsi China sebagai ancaman sangat dominan di era pemerintahan Orde Baru, dan terus bertahan hingga rezim tersebut berakhir,” tuturnya.

        Baca Juga: Dituduh Sebagai Penjajahan Gaya Baru, E-Commerce China Mengancam Usaha Lokal?

        Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah kecurigaan bahwa China telah melakukan intervensi dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan memberikan bantuan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta yang gagal pada tahun 1965. 

        “Sekitar satu dasawarsa setelah runtuhnya rezim Orde Baru, tepatnya di zaman pemerintahan Presiden Yudhoyono, persepsi terhadap China di kalangan publik di Indonesia, khususnya kelas menengah, bergeser menjadi positif,” jelas Johanes. 

        Namun, berdasarkan keterangannya, persepsi negatif kembali mendominasi publik sejak tahun 2015. “Penyebabnya antara lain adalah berkembangnya media baru yang membuka arus informasi terkait tingkah laku China di dunia internasional, makin intensifnya hubungan ekonomi Indonesia China yang diwarnai dengan berbagai isu termasuk isu pekerja migran dan kekhawatiran terhadap ketergantungan Indonesia terhadap China, dan sikap China yang makin agresif dan asertif di Laut China Selatan, termasuk di ZEE Indonesia dekat Kepulauan Natuna,” tegasnya.  

        Dalam pandangan Johanes, hadirnya pandangan kritis dan persepsi negatif terhadap China, termasuk persepsi China sebagai ancaman di Laut China Selatan, perlu direspons secara bijak oleh Indonesia. “Pemerintah Indonesia perlu mempertahankan kehati-hatian dalam menjalankan kerja sama ekonomi dengan China, sambil tetap menjaga (atau bahkan meningkatkan) sikap tegas, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan kemandirian Indonesia,” katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Belinda Safitri

        Bagikan Artikel: