Juni 2024 aktivitas manufaktur Indonesia terjun bebas ke level terendah dalam 13 bulan terakhir. Berdasarkan data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis oleh S&P Global, PMI manufaktur Indonesia jatuh ke 50,7.
Adapun indeks tersebut lebih rendah jika dibandingkan pada bulan Mei 2024 yakni 52,1. Indeks tersebut bahkan menjadi yang terendah selama 13 bulan terakhir.
Diketahui PMI manufaktur Indonesia sudah melandai dalam tiga bulan berturut-turut. Pada Juni 2024 lalu, penurunan PMI Manufaktur sebesar 2,7% menjadi pukulan terdalam sejak September 2023 yang turun 2,9%.
Meskipun demikian, PMI manufaktur Indonesia masih berada dalam fase ekspansif selama 34 bulan tearkhir. Angka 50 digunakan oleh PMI sebagai titik mula. Dengan kata lain, jika angkanya berada di atas 50, maka dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara itu, jika angkanya berada di bawah, maka artinya kontraksi.
Penurunan PMI pada periode Juni menurut S&P dipicu oleh laju ekspansi yang lebih lamban baik dalam output maupun pesanan baru. produksi naik dengan laju terendah sejak Mei 2023, sedangkan pertumbuhan pesanan baru adalah yang terlemah dalam 13 bulan terakhir. Adapun penjualan ekspor yang lemah juga mengurangi pesanan. Bisnis ekspor baru turun untuk keempat kalinya berturut-turut.
Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, Trevor Balchin, menyebut jika PMI jeblok merupakan hal yang tak biasa.
Baca Juga: PHK Buruh Tekstil Marak, KASBI: Akal-akalan Pengusaha
"Terjadi penurunan momentum yang signifikan di sektor manufaktur Indonesia pada Juni, di mana pertumbuhan pesanan baru hampir berhenti karena ekspor turun untuk keempat kalinya berturut-turut," tutur Balchin, dalam website resmi S&P Global, dikutip Warta Ekonomi, Senin (01/7/2024).
Indeks PMI, ujar Balchin, tetap sedikit di atas level tren jangka panjangka. Akan tetapi, outlooknya mengkhawatirkan dengan Indeks Future Output yang tidak berubah dari level Mei serta merupakan salah satu yang terendah dalam sejarah. Di sisi lain, perlambatan PMI ini juga membuat perekrutan pada Juni sangat minim.
"Terjadi penurunan pertama dalam pekerjaan yang tertunda dalam tujuh bulan. Arah perjalanan (pemesanan) juga menunjukkan kemungkinan adanya kontraksi pesanan baru pada awal paruh kedua tahun ini, yang akan menjadi yang pertama sejak pertengahan 2021,” kata dia.
Di satu sisi, perlambatan PMI Manufaktur ini berdampak juga pada sisi kepercayaan dunia bisnis. Berdasarkan datatan dari S&P, kepercayaan dunia bisnis masih berada di level terendah dalam empat tahun.
Pelemahan rupiah juga menjadi beban baru karena membuat harga bahan baku terus meningkat tajam.
Dengan produksi yang naik lebih cepat daripada pesanan baru maka produsen Indonesia berhasil mengurangi bisnis yang tertunda pada Juni. Backlog pekerjaan turun untuk pertama kalinya sejak November tahun lalu. Data terbaru juga menunjukkan bahwa stok barang jadi turun untuk pertama kalinya sejak Januari dan dengan laju penurunan tercepat sejak Juli 2022.
Baca Juga: Permendag Nomor 8 Jadi Biang Kerok PHK Massal?
PHK Semakin Merajalela?
Lambannya PMI Manufaktur tersebut mengancam berbagai sektor. Salah satunya perekrutan tenaga kerja bakal semakin sedikit. Untuk diketahui, badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tengah melanda Indonesia terutama sektor tekstil.
Menanggapi hal tersebut, Ristadi selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) dalam keterangannya menjelaskan jika PHK di beberapa pabrik TPT awalnya merupakan efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan. Akan tetapi, beberapa di antaranya tetap tidak bisa bertahan kendati telah melakukan PHK.
Sebagai informasi, setidaknya ada 36 perusahaan tekstil menengah besar yang tutup dan 31 pabrik lainnya melakukan PHK karena efisiensi sejak 2019.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: