Kementerian kesehatan (Kemenkes) mendorong masyarakat untuk menerapkan quality spending atau belanja yang berkualitas dalam menghadapi tingginya inflasi biaya medis di Indonesia. Dengan quality spending maka pengeluaran yang digunakan akan sesuai denngan standar dan kebutuhan.
Hasil survei medical trend summary Mercer Marsh Benefits dari tahun 2021 - 2023 menyebutkan bahwa inflasi medis di Indonesia meningkat 13,6% di tahun 2023 dari sebelumnya 12,3% di tahun 2022. Angka ini jauh lebih tinggi dari inflasi ekonomi yang hanya 3,3% di Agustus 2023.
"Kalau pak menteri bilang kita jangan sampai kaya Amerika, kita mau quality spending jadi saya rasa topik pada hari ini bagaimana mengatasi untuk biaya yang tinggi yaitu quality spending dengan spending berkualitas artinya kita harus tau harus ada standarnya, apakah ini necessary apakah medical need atau unneceserry," ujar Staff Khusus Menteri dibidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Dr. Prastuti Soewondo, saat menghadiri seminar Warta Ekonomi yang bertajuk "Mencari Solusi Di Tengah Biaya Medis yang Terus Naik dari Perspektif Rumah Sakit, Farmasi dan Asuransi" di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Baca Juga: Inflasi Biaya Medis Bikin Industri Asuransi Pusing Tujuh Keliling
Lebih lanjut Ia mengakui bahwa Total Belanja Kesehatan (TBK) Indonesia terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp606,3 triliun. "Total biaya kita adalah 606 Triliun, kalau kita lihat waktu covid naik 2020-2021 kemudian turun di 2022 menuju normal, kemudian meningkat sedikit di 2023," imbuhnya.
Meski begitu, Prastuti menegaskan bahwa spending (pengeluaran) pembiayaan kesehatan di Indonesia terbilang masih rendah yakni hanya 3.7% terhadap PDB. "Ini adalah indikator kita, kita mau melihatnya dimana, nah kalo kita lihat di Indonesia memang spending kita masih rendah, kita masih 3,7% dari PDB," kata Dr Prastuti.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengungkapkan bahwa salah satu faktor tingginya inflasi biaya kesehatan karena banyaknya masyarakat yang datang ke rumah sakit untuk berobat.
"Tadi saya lihat ada satu kecendrungan kenaikan tidak saja inflasi ataupun biaya medis tetapi partisipasi masyarakat dan masyarakat yang datang ke rumah sakit meningkat," jelas Ghufron.
Ghufron juga menyampaikan bahwa jumlah pembiayaan yang sangat besar mencapai Rp600 triliun seharusnya bisa menambah komponen untuk bekerja sama antara pemerintah dengan swasta.
"Jadi menurut saya yang sangat penting itu tadi ibu Soewondo sudah menyampaikan, adalah bagaimana komponen pembiayaan secara keseluruhaan sekitar Rp600 triliun itu kompenen public harus ditambah," paparnya.
Baca Juga: Kendalikan Inflasi, Jokowi Minta TPIP dan TPID Amankan Produksi dan Tingkatkan Rantai Pasok
Ghufron menambahkan, kerjasama antara pemerintah dan swasta harus terbuka salah satunya dengan mengunakan skema kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak swasta atau dikenal sebagai Public Private Partnership (PPP). Hal ini bisa dilakukan dengan mencari titik temu yang dapat menguntungkan semua pihak.
"Nah tetapi hanya publik pasti tidak cukup, maka Public Private Partnerships, kerjasama antara swasta dan pemerintah atau public itu sangat amat penting, tapi kerjasama ini harus dicari titik temunya yang menguntungkan semua pihak," jelasnya.
Sebagai informasi, selain Dr Prastuti Soewondo dan Ali Ghufron Mukti, hadir pula Chief Operations Health Officer Prudential, Dr Dian Budiani dan Direktur Operational BRI Life, Yosie Willliam Iroth yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Fajar Sulaiman