Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyebut jika harus ada satu institusi penuh yang mengurus seluk beluk persoalan sawit. Pasalnya, dia menilai selama ini urusan sawit selalu tumpang tindih karena banyaknya Kementerian/Lembaga yang menaunginya. Sehingga, regulasinya juga rancu.
Banyaknya campur tangan kebijakan soal sawit menurut Khudori ini bukannya membuat industri ini terurus dengan baik. akan tetapi, selama bertahun-tahun hal mendasar tersebut tidak terselesaikan.
Baca Juga: Wejangan Guru Besar IPB untuk Prabowo: Sawit Bisa Jadi Senjata
“Ini karena egosektoral masih kental. Masing-masing K/L kekeh pada tupoksinya. Sementara tantangan yang dihadapi dan mesti direspons segera oleh otoritas kebijakan makin kompleks dan rumit,” ujar Khudori dalam keterangannya, Senin (8/7/2024).
Indonesia, ucapnya, bisa mencontoh kompetitor industri sawit seperti Malaysia yang mana di negara tersebut ada satu institusi yang menaungi segala urusan soal sawit. Indonesia memang telah memiliki Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), akan tetapi, institusi tersebut hanya mengurus perihal pungutan ekspor (levy) dan penggunaannya saja.
“Sementara kebijakan di hulu, tengah hingga hilir ada di belasan K/L.,” ungkapnya.
Adapun tantangan industri sawit Indonesia menurut Khudori bukan dari eksternal saja yang bernuansa perang dagang, namun juga tantangan internal juga yang tidak kalah rumit.
Baca Juga: Senyum Industri Sawit, Harga CPO Beranjak Naik Bawa Dampak Positif
Produktivitas kelapa sawit Indonesia juga tak bergerak alias stagnan. Salah satu penyebabnya yakni usia tanaman yang tua serta perlu dilakukan penanaman baru alias replanting khususnya pada perkebunan sawit rakyat.
“Tapi serapan Program Sawit Rakyat (PSR) amat kecil dan lambat seperti bekicot. Pemerintah sudah tahu apa akar masalahnya, yang paling krusial ya status lahan yang menurut versi KLHK ada di kawasan hutan, lebih dari 3 juta hektare (ha),” tuturnya.
Kendati permasalahan sudah ada di depan mata, Khudori bertanya-tanya mengapa tidak segera dituntaskan. Hal ini menurutnya bukan salah dari petani sawit. Namun, kebijakan yang berubah-ubah sehingga merugikan rakyat itu sendiri.
Baca Juga: Integrasi Sawit dan Padi Gogo: Solusi Efektif untuk Peremajaan dan Ketahanan Pangan
“Pasti kalau ada satu otoritas, hal-hal begini lebih mudah diselesaikan. Ada kebutuhan mendesak untuk mentransformasikan sawit kita agar lebih produktif, berdaya saing dan memberikan nilai tambah tinggi,” kata Khudori.
Lebih lanjut, peningkatan produktivitas sawit menurut Khudori tidak bisa ditawar-tawar. Begitu juga dengan hilirisasi berbagai produk olahan sawit dengan pendalaman industri yang lebih lanjut agar tercipta nilai tambah yang lebih tinggi.
Baca Juga: Pelaku Industri Kelapa Sawit Dapatkan Pelatihan Skill Berbasis Pengalaman Individu
“Saat ini sumbangan sawit terhadap neraca perdagangan pertanian dan perdagangan secara umum cukup besar. Kalau kinerja industri sawit tak berubah dan maju cepat, amat disayangkan,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar