Pasar Eropa dipastikan masih membutuhkan minyak kelapa sawit Indonesia meskipun ada aturan dan penolakan dari mereka melalui regulasi Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR). UU tersebut mengatur perdagangan sejumlah produk yang menjadi pemicu berkurangnya kawasan hutan di seluruh dunia, termasuk kelapa sawit.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan minyak sawit dibutuhkan pasar Eropa untuk mendukung produk unggulan mereka, seperti pembuatan biodiesel, kosmetik, dan pangan. Bahkan, saat musim dingin mereka membutuhkan minyak sawit untuk kebutuhan produksi dalam negara Uni Eropa. Sementara produk minyak nabati seperti minyak kedelai, rapeseed, dan minyak bunga matahari masih terbatas.
Baca Juga: Harga Minyak Sawit Fluktuatif, Pakar Jelaskan Faktornya
Menurut Mukti, aturan EUDR jika diterapkan akan berdampak pada petani sawit. Dalam EUDR, Uni Eropa tidak menerima sawit dari hasil deforestasi setelah 30 Desember 2020.
"Kalau pengusaha besar sejak era Pak SBY mengeluarkan Inpres tidak boleh buka perluasan areal baru. Perusahaan tidak lagi ada yang ekspansi, yang ada kebun rakyat. Jadi jika aturan EUDR diberlakukan, yang kena adalah masyarakat petani," ujar Mukti dalam workshop jurnalistik dengan tema “Tinjauan Tantangan Implementasi Kebijakan FKPM di Kalimantan Timur terhadap Potensi Pengembangan Ekonomi Daerah” di Balikpapan, Kamis (25/7).
Namun Mukti meyakini aturan EUDR mulai ada tekanan dari parlemen Amerika kepada Uni Eropa agar aturan tersebut dibatalkan saja. Sementara di Uni Eropa sendiri, seperti Jerman, tidak menyetujui aturan EUDR.
"Kalau kita lihat peraturan EUDR ini sepertinya dalam kondisi goyang. Kemungkinan akan diundurkan pemberlakuannya," katanya.
Mukti juga mengungkapkan keanehan pada empat bulan terakhir ini, yaitu harga minyak sawit lebih tinggi dari minyak nabati lainnya.
"Kenapa seperti ini? Lagi-lagi masalah supply and demand. Saat ini mungkin lagi sorting sementara minyak nabati lainnya supply tinggi, nah itu akan mempengaruhi," ucapnya.
"Harga itu bergantung pada permintaan dan ketersediaan. Sementara harga minyak sawit lebih rendah daripada minyak rapeseed, minyak kedelai, maupun minyak bunga matahari," tuturnya.
Produk sawit Indonesia sejak puluhan tahun menjajah masuk Eropa dengan ekspor sawit sebanyak 2-3 juta ton per tahun. Namun sejak 2021, mereka melakukan kampanye negatif dan menolak sawit Indonesia dengan slogan sawit tidak sehat dan deforestasi hutan.
"Mereka produksi rapeseed, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai. Mereka kan harus melindungi produknya. Tapi kan pengusaha mereka bilang mereka butuh sawit untuk biodiesel," ujarnya.
Selain itu, kebutuhan pangan dan kosmetik juga membutuhkan bahan baku sawit. "Seperti coklat yang kita aman dari produk mereka itu komposisi banyak menggunakan produk minyak sawit," ungkapnya.
Ekspor Sawit Indonesia Terbesar Masih Pasar India dan China
Pada kesempatan yang sama, CEO dan Pemimpin Redaksi Warta Ekonomi Muhammad Ihsan mengatakan kelapa sawit tidak hanya memberikan manfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga sudah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.
"Sawit tidak hanya sebagai bahan makanan, tapi juga sebagai bahan kosmetik, dan bahkan sudah menjadi sumber bahan baku biodiesel," katanya.
Selain dikonsumsi sebagai minyak goreng oleh rumah tangga dan industri, minyak sawit juga bisa diolah menjadi produk sumber pangan lainnya seperti ice cream, margarin, coklat, creamer, dan biskuit. Sekitar 70-90 persen minyak sawit yang diperdagangkan di pasar dunia digunakan untuk pangan.
Baca Juga: Alasan Eropa 'Iri' dengan Keunggulan Sawit: Takut Indonesia Jadi Raja
"Bahkan, peran minyak sawit sebagai sumber pangan bisa terlihat pada level negara atau kawasan. Misalnya, penggunaan minyak sawit untuk pangan di China pada tahun 2021 sebesar 66%, India 96%, Pakistan sebesar 98%, dan Uni Eropa sebesar 36%," terang Ihsan.
Ihsan menambahkan bahwa hal tersebut menunjukkan perbedaan konsumsi antara produk pangan berbasis minyak sawit di wilayah Asia dan Eropa.
"Masyarakat di kawasan Asia menggunakan minyak sawit sebagai minyak goreng yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun industri. Sementara di kawasan Amerika dan Eropa, penggunaan minyak sawit dipergunakan sebagai bahan baku oleh industri pangan, bahkan kosmetik dan kebutuhan lainnya," tambahnya.
Kampanye Negatif Bermotif Ekonomi
Sementara itu, Ketua Umum PWI Pusat, Hendry CH Bangun, mengatakan sawit adalah bagian yang tak terpisahkan dari para wartawan dan warga Indonesia. Mengingat, sawit ini begitu besarnya bagi perekonomian nasional dan banyaknya warga yang hidup dari kelapa sawit.
"Jadi saya kira begitu banyak, batu bara barangkali memiliki nilai ekspor yang lebih besar. Tapi masyarakat yang terlibat dan umumnya di pedesaan, dari kehidupan kelapa sawit ini sangat banyak," katanya.
Bangun mengungkapkan sejak awal kecenderungan berita negatif mengenai kelapa sawit sebesar 70 persen, positifnya hanya 30 persen. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional selalu berkampanye negatif dengan alasan lingkungan. Tetapi baru belakangan ini, kita ketahui motifnya juga ekonomi.
Baca Juga: Floratama Academy 5.0 Tingkatkan Usaha Ekonomi Kreatif Berbasis Digital
"Mengapa? Karena kelapa sawit ini kalau dibanding-bandingkan dengan produk mereka itu sangat kalah jauh dengan kelapa sawit. Kalah bersaing, baru muncul lah isu-isu negatif yang memojokkan dengan berbagai topik dan tema seputar kelapa sawit, yang sayangnya banyak dari kita mengikuti saja," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Aliev
Editor: Aldi Ginastiar