Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengatakan jika penurunan daya beli saat ini tengah dirasakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah. Namun, dia menilai jika pemerintah bisa melakukan beberapa upaya untuk menyelamatkan kelas menengah yang tengah sekarat ini supaya tidak terjun ke jurang kemiskinan.
Andry menjelaskan jika para konsumen Indonesia semakin menuntut adanya kebijakan pasti yang dapat memberikan keamanan dan perlindungan fiscal serta menjauhkan masyarakat dari kekhawatiran yang berlebihan terhadap kondisi ekonomi mereka. Kebijakan-kebijakan tersebut, ujarnya, bisa selaras dengan upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Optimasi Sektor Perkebunan, Begini Alasan Jokowi Ubah BPDPKS
"Kebijakan yang mungkin dilakukan mencakup dukungan fiskal, jaring pengaman, dukungan terhadap usaha kecil dan lapangan kerja, serta penyesuaian kebijakan moneter," kata Andry dalam analisisnya, dikutip Warta Ekonomi, Jumat, (26/7/2024).
Untuk jangka pendek, Andry memaparkan pemerintah perlu memikirkan penguatan tunjangan penganggungan dan jaring pengaman sosial lainnya. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari ketidakpastian keuangan. Kebijakan jangka pendek tersebut dia nilai bisa mengurangi kekhawatiran masyarakat mengenai pendapatan dan dapat mendorong mereka untuk berbelanja.
Di sisi lain, pemerintah juga tetap perlu mempertahankan subsidi yang lebih tepat sasaran. Contohnya, bantuan langsung tunai (BLT) atau insentif pajak rumah tangga berpendapatan rendah dan menangah. Hal ini juga bisa meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan dan mendorong tingkat konsumsi.
Upaya penguatan daya beli ini dinilai cukup mendesak lantaran banyaknya kelas masyarakat dengan pendapatan sedang yang turun ke kelas ekonomi yang berada di bawahnya. Apabila mengacu pada standar Bank Dunia, proporsi kelas menengah di Indonesia mulai menciut dari yang sebelumnya 21,4% pra-pandemi, menjadi 17,4% dari populasi setelah pandemi Covid-19. Andry menegaskan jika mereka kebanyakan jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah yakni aspiring middle class (AMC) dan kelas rentan.
Menurunnya proporsi kelas menengah ini disebabkan lantaran merosotnya pendapatan hingga PHK yang terjadi selama pandemi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia sempat melonjak sekitar 7,07% dari 2,67 juta menjadi 9,77 juta per Agustus 2020 lalu.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Kalau Kursinya Belum Siap, Mau Sidang Kabinet Sambil Lesehan?
Alhasil, PHK besar-besaran tersebut membuat masyarakat beralih dari yang semula pekerja formal menjadi informal. Data BPS pun menunjukkan jika proporsi pekerja informal Indonesia saat ini tercatat 59,17%, melesat dibandingkan per Agustus 2019 yakni 55,88%.
Selain kebijakan jangka pendek, Andry menegaskan pemerintah perlu menyiapkan kebijakan jangka sedang dan panjang untuk mengatasi daya beli kelas menengah ini. caranya adalah dengan menciptakan lapangan kerja, berinvestasi di proyek infrastruktur, teknologi ramah lingkungan dan sektor lain yang menghasilkan lapangan kerja.
Menurut dia, peningkatan pada sektor ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan konsumen.
Pengembangan sektor pariwisata dia nilai juga cukup menjanjikan di Indonesia. menurutnya, potensi pariwisata di Indonesia sangat besar dan bisa merangsang pertumbuhan ekonomi lantaran dampaknya bisa dirasakan secara langsung ke masyarakat.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menjelaskan jika insentif dari pemerintah untuk kelas menengah selama ini sangat amat minim. Di sisi lain, dia mengungkapkan jika kelas masyarakat miskin mendapatkan bantuan sosial dan kelas atas memperoleh insentif berupa tax holiday dan semacamnya. Insentif yang bisa diberikan kepada kelas menengah ini, tuturnya, sebenarnya cukup sederhana. Pemerintah menurutnya cukup membuat aturan yang tepat agar daya beli kelas ini tidak tertekan.
"Insentif yang bisa diberikan ke kelas menengah adalah dia jangan diganggu-ganggu pendapatannya," kata Abdul Manap.
Dia mencontohkan kebijakan yang dapat menjaga daya beli kelas ini adalah dengan cara pemerintah tidak menaikkan tariff tol dan listrik. Maka dari itu, Abdul Manap mendesak pemerintah untuk memikirkan ulang kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Misalnya, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 nanti.
Dia menilai kenaikan itu bisa saja dilakukan ketika perekonomian sedang baik-baik saja. Masalahnya, kata dia, saat ini tekanan terhadap daya beli masyarakat adalah nyata.
"Kita itu belum pulih terutama dari pandemi, masih bisa kita lihat sektor tenaga kerja belum membaik, terus ada inflasi yang melonjak signifikan," kata dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: