Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, menilai bahwa selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kondisi ekonomi Indonesia menyisakan permasalahan yang sangat serius. Sehingga, apabila tidak segera diperbaiki oleh pemerintahan yang baru, maka kondisi ini bisa membuat situasi ekonomi Indonesia semakin parah.
“Selama 10 tahun… kita menemukan banyak fakta mencengangkan soal berbagai tantangan fiskal yang dihadapi serta kekacauan yang luar biasa dalam tata kelola fiskal Indonesia,” tegasnya kala merilis laporan berjudul ’10 Lubang Fiskal Warisan Pemerintahan Joko Widodo’, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Baca Juga: Jerit Industri Tekstil di Akhir Pemerintahan Jokowi
Dalam laporan tersebut, disoroti sejumlah masalah ekonomi yang amat mendasar. Salah satunya stagnasi pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,1%. Pihaknya menegaskan bahwa capaian pertumbuhan ekonomi nasional di bawah arahan Jokowi cenderung stagnan.
Padahal, Media mengungkapkan, dengan demografi serta pertumbuhan populasi saat ini, Indonesia idealnya perlu pertumbuhan ekonomi sekitar 6 – 7% untuk bisa menjadi negara maju yang seharusnya ditopang dengan pendapatan per kapita di atas US$10 ribu.
“Tetapi hari ini, (target pertumbuhan ekonomi) itu tidak tercapai dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi,” ucapnya.
Kedua, pihaknya merasa khawatir dengan adanya lonjakan pelebaran defisit anggaran sebesar 171,82% dari Rp226,69 triliun di APBN 2014, menjadi Rp616,19 triliun di RAPBN 2025. Poin ketiga, rasio utang terhadap PDB juga melonjak secara signifikan dari tahun 2014 yang hanya 24,7% menjadi 39,13% pada tahun 2023.
Poin keempat, menurunnya rasio pajak terhadap PDB dari kisaran 13,7% pada tahun 2014 menjadi 10,1% pada tahun 2024. Penurunan rasio pajak hari ini menurutnya adalah capaian terendah sepanjang sejarah.
“Ketika melihat lubang-lubang fiskal ini sebetulnya sudah dapet intuisinya (ekonomi RI bermasalah). Saya ingin tekankan kembali, kita sudah sampai di tahap yang sangat-sangat membahayakan,” ucap Media.
Sementara itu poin kelima, pemerintahan Jokowi selama 10 tahun terakhir ini memiliki kecenderungan untuk selalu mengalokasikan pembiayaan utang di atas 74%. Akan tetapi sebaliknya, pembiayaan investasi tidak pernah lebih dari 17,5%. Hal tersebut menunjukkan negara terlalu bergantung pada utang dan minim investasi produksi. Sehingga berpotensi dapat meningkatkan risiko fiskal dalam jangka panjang.
Selanjutnya, poin keenam yakni alokasi anggaran untuk pertahanan dan keamanan cenderung meningkat bahkan melebihi anggaran kesehatan pada puncak pandemi Covid-19 di tahun 2020 silam. Tercatat belanja perlindungan sosial hanya bertumbuh 124,87% sedangkan belanja ketertiban-keamanan bertumbuh hampir dua kali lipat yakni 199,04%.
Hal tersebut, kata Media, menimbulkan kekhawatiran mengenai prioritas anggaran yang masih belum optimal untuk pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Pada poin ketujuh, CELIOS mencatat Penyertaan Modal Negara (PMN) meningkat signifikan sekitar 327,67% pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pelaksana Infrastruktur merupakan anomaly. Kendati peningkatan tersebut diharapkan mendongkrak asset BUMN, kenyataannya beberapa BUMN justru mengalami pertumbuhan asset yang minim.
“Dominasi utang BUMN itu cukup dominan. Sehingga ketika BUMN kolaps, maka secara tidak langsung yang menanggung bebannya adalah masyarakat Indonesia,” paparnya.
Poin kedelapan adalah belanja pemerintah untuk perlindungan lingkungan hidup secara konsisten menjadi yang paling rendah. Hal itu tercatat belanja pemerintah di sektor tersebut menjadi paling rendah ke-3 dari 11 fungsi lainnya. Laporan CELIOS mengungkapkan bahwa jumlah belanja perlindungan lingkungan hidup bahkan tidak sampai 1,5% dari total anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah.
Pembangunan IKN yang Bermasalah
Poin berikutnya menurut peneliti CELIOS, Achmad Hanif Imaduddin, adalah proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dianggap delusional. Permasalahan IKN menurutnya sudah muncul semenjak awal perumusan hingga penetapannya.
Hanif cenderung skeptis dengan mekanisme pembiayaan IKN yang diklaim tidak melemahkan sistem fiskal di Indonesia. Pasalnya, megaproyek tersebut masih belum bisa menarik pemodal besar untuk bisa terjun langsung dalam proses pembangunan karena tidak bisa mengandalkan seutuhnya pada APBN atau BUMN dan BUMD.
“Akan tetapi, sampai saat ini, kita belum menemukan satu investor swasta yang mumpuni untuk membiayai atau mendukung pembangunan ini. Karena dulu katanya ada Softbank, tapi kemudian dia udah cabut duluan dari proyek ini, sehingga (sampai sekarang) tidak ada satu investor terkemuka,” papar Hanif.
Baca Juga: Syarat Mutlak Prabowo Bisa Capai Pertumbuhan Ekonomi 8%: Kalau Gagal, Lupakan Saja
Berdasarkan hitungan dari CELIOS, indikator progress pembangunan IKN menujukkan lebih banyak kemungkinan pembangunan yang tidak berdampak signifikan atau bahkan gagal. Alih-alih mendulang keberhasilan.
Terakhir, CELIOS mencatat bahwa ruang fiskal pemerintah Indonesia untuk berbagai inisiatif berkelanjutan kian terhimpit dengan berbagai program ambisius dan proyek besar pada pemerintahan mendatang.
Misalnya, proyek kereta cepat yang nyatanya membebani anggaran negara, ditambah rencana pembangunan rute terusan dari Jakarta hingga Surabaya yang juga menghadapi risiko institusional dan ekonomis. Selain itu, terdapat program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Reformasi Fiskal Keseluruhan
Dengan kondisi tersebut di atas, Hanif menyebut ada kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk segera mereformasi secara keseluruhan sektor ekonominya. Langkah ini dinilai perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan fiskal pada masa depan.
“Perubahan mendasar dalam alokasi anggaran dan pengelolaan prioritas anggaran sangat penting, agar Indonesia dapat keluar dari himpitan fiskal dengan lebih baik,” terang Hanif.
Adapun dalam laporan tersebut, pihaknya mengusulkan adanya serangkaian reformasi fiskal. Misalnya pengenaan pajak bagi orang super kaya, penerapan insentif pajak yang lebih inklusif, perbaikan kualitas belanja negara melalui redesain postur APBN, hingga penguatan belanja kesehatan serta perlindungan sosial.
"Intervensi komprehensif dan progresif diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan ekonomi Indonesia tetap tangguh dalam menghadapi tantangan di masa depan," ujarnya.
Atas kondisi tersebut yang membuat Indonesia harap-harap cemas, Media berharap pemerintahan baru di bawah nahkoda Prabowo Subianto tidak ‘melanjutkan’ kebijakan pemerintahan Jokowi secara serta-merta. Alih-alih demikian, dia berharap Prabowo bisa melakukan perubahan ekonomi yang signifikan.
“Jika tidak berubah, hari ini Indonesia belum mencapai negara gagal, tetapi kita bisa menjadi negara gagal kalau seandainya fondasi yang lemah-rentan di masa Jokowi ini dilanjutkan begitu saja oleh pemerintahan Prabowo,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar