Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menjelaskan bahwa saat ini produksi sawit Indonesia mengalami stagnansi jika dibandingkan dengan produksi tahun lalu. Sehingga, dia berharap agar pemerintahan baru Prabowo Subianto tidak gegabah dalam menggenjot program biodiesel.
Jika melihat produksi Crude Palm Oil (CPO) dari bulan Januari hingga Agustus 2024, secara year on year (YoY), produksi tahun 2024 jauh lebih rendah 4,86% atau sekitar 34,52 juta ton daripada tahun 2023 lalu yang angkanya 36,27 juta ton.
Baca Juga: Seimbang, Pemerintah Jamin Program Biodiesel Tidak Ganggu Pasokan CPO
Kendati demikian, Eddy menyebut bahwa kebutuhan untuk B40 tahun depan masih bisa dipenuhi dengan kebutuhan CPO sekitar 14,3 juta ton kendati harus mengorbankan kuota ekspor sebesar 2 juta ton.
Terkait program B50, Eddy menjelaskan bahwa produksi tahun ini yang diprediksi stagnan, maka besarnya kuota ekspor juga bakal berkurang sebesar 6 juta ton.
"Yang B50 saja, kalau kondisi seperti ini atau stagnan maka ekspor akan turun sebesar 6 juta ton CPO. Kalau dipaksa lagi B60 bisa menurun (ekspor) sekitar 10 juta," ungkap Eddy di kantor GAPKI, Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Jika melihat prediksi produksi CPO tahun 2024 yang mencapai 59,27 juta ton, imbuhnya, sebenarnya industri sawit siap-siap saja dalam memfasilitas biodiesel B40 sampai B60.Namun, kapasitas ekspor yang akan dialihkan untuk biodiesel dinilai dalam jangka panjang akan buruk pada ekosistem sawit di dalam negeri.
Baca Juga: Dipercaya Urusi Kehutanan, Raja Juli Punya Misi Besar dari Prabowo
"Ini yang seharusnya dilihat terkait produksi kita, kalau dibilang mampu ya mampu (untuk biodiesel) dari total produksi, tapi ekspor harus dikorbankan," ungkapnya.
Sementara itu, apabila kapasitas ekspor menurun, maka pungutan ekspor yang saat ini digunakan untuk subsidi biodiesel serta program replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga akan menurun. Sehingga, hal tersebut bisa berimbas pada menurunnya kapasitas produksi hingga terhambatnya program bauran tingkat selanjutnya seperti B50 hingga B60.
"Padahal kita memerlukan peningkatan produktifitas, kalau dikorbankan, dana PSR dari mana? Kan dari pungutan ekspor. Siapa yang akan membiayai B50 tersebut kalo ekspornya kurang?” ucapnya.
Baca Juga: APROBI Ungkap Tantangan bagi Produsen Biodiesel Indonesia, Apa Saja?
Dirinya memberi contoh bahwa saat ini program B35 yang masih berjalan didanai dari pungutan ekspor.
"Jadi nanti akan bergulir seperti ayam sama telur, yang mana dulu. Nah ini yang berbahaya," ungkapnya.
Apabila kapasitas ekspor sawit Indonesia terus dipangkas, kata Eddy, maka hal tersebut bakal berpengaruh pada harga minyak nabati dunia yang lainnya. Harga CPO Indonesia bakal semakin mahal dengan stok yang langka di pasar global sehingga menyebabkan kenaikan harga dari berbagai produk turunan CPO lainnya.
Baca Juga: Petani Sawit Berharap Posisi Mereka Semakin Kuat di Tangan Prabowo Subianto
"Apabila suplai kita berkurang ke dunia, maka harga minyak nabati dunia juga akan berpengaruh, berdampak inflasi juga ke kita dengan mahalnya produk-produk kita yang dari sawit," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar